Sabtu, 29 Juni 2013

tulisan softskill4


Nama :Tehrizka Tambihan
NPM   :37412336
Kelas  :1ID01
 
 
 
 
 
Tulisan :
 
a.    Perkembangan Politik Indonesia pada Masa Orde Baru Lama dan Reformasi
 
    A.    Masa pemerintahan orde lama
       Orde Lama adalah sebutan bagi masa pemerintahan PresidenSoekarno di Indonesia.Orde Lama berlangsung dari tahun 1945 hingga1968. Dalam jangka waktu tersebut, Indonesiamenggunakan bergantian sistem ekonomi liberal dan sistem ekonomi komando.Di saat menggunakan sistem ekonomi liberal, Indonesia menggunakan sistem pemerintahan parlementer. Presiaden Soekarno di gulingkan waktu Indonesia menggunakan sistem ekonomi komando.
Pada 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) melantik Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hattasebagai Wakil Presiden dengan menggunakan konstitusi yang dirancang beberapa hari sebelumnya. Kemudian dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai parlemen sementara hingga pemilu dapat dilaksanakan. Kelompok ini mendeklarasikan pemerintahan baru pada 31 Agustus dan menghendaki Republik Indonesia yang terdiri dari 8 provinsi: Sumatra, Kalimantan (tidak termasuk wilayah Sabah, Sarawak dan Brunei), Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku (termasuk Papua) dan Nusa Tenggara.
Pada masa sesudah kemerdekaan, Indonesia menganut sistem multi partai yang ditandai dengan hadirnya 25 partai politik. Hal ini ditandai  dengan Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945. Menjelang Pemilihan Umum 1955 yang berdasarkan demokrasi liberal bahwa jumlah parpol meningkat hingga 29 parpol dan juga terdapat peserta perorangan. Pada masa diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem kepartaian Indonesia dilakukan penyederhanaan dengan Penpres No. 7 Tahun 1959 dan Perpres No. 13 Tahun 1960 yang mengatur tentang pengakuan, pengawasan dan pembubaran partai-partai. Kemudian pada tanggal 14 April 1961 diumumkan hanya 10 partai yang mendapat pengakuan dari pemerintah, antara lain adalah sebagai berikut: PNI, NU, PKI, PSII, PARKINDO, Partai Katholik, PERTI MURBA dan PARTINDO. Namun, setahun sebelumnya pada tanggal 17 Agustus 1960, PSI dan Masyumi dibubarkan.Dengan berkurangnya jumlah parpol dari 29 parpol menjadi 10 parpol tersebut, hal ini tidak berarti bahwa konflik ideologi dalam masyarakat umum dan dalam kehidupan politik dapat terkurangi. Untuk mengatasi hal ini maka diselenggarakan pertemuan parpol di Bogor pada tanggal 12 Desember 1964 yang menghasilkan “Deklarasi Bogor.”
Secara umum, hubungan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden dengan Soekarno sebagai Presiden, sangat dinamis, bahkan kadang-kadang terjadi gejolak. Hatta adalah pengkritik paling tajam sekaligus sahabat hingga akhir hayat Soekarno. Dinamika hubungan Soekarno dengan Mohammad Hatta sangat dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang berlaku pada saat itu. Moh. Mahfudz, (1998:373-375) dalamPolitik Hukum di Indonesia, secara lebih spesifik menguraikan perkembangan konfigurasi politik Indonesia ketika itu sebagai berikut:
Pertama, setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, terjadi pembalikan arah dalam penampilan konfigurasi politik. Pada periode ini konfigurasi politik menjadi cenderung demokratis dan dapat diidentifikasi sebagai demokrasi liberal. Keadaan ini berlangsung sampai tahun 1959, dimana Presiden Soekarno menghentikannya melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pada periode ini pernah berlaku tiga  konstitusi, yaitu UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUDS 1950. Konfigurasi politiknya dapat diberi satu kualifikasi yang sama, yaitu konfigurasi politik yang demokratis. Indikatornya adalah begitu dominannya partai-partai politik;
Kedua, konfigurasi politik yang demokratis pada periode 1945-1959, mulai ditarik lagi ke arah yang berlawanan menjadi otoriter sejak tanggal 21 Februari 1957, ketika Presiden Soekarno melontarkan konsepnya tentang demokrasi terpimpin. Demokrasi Terpimpin merupakan pembalikan total terhadap sistem demokrasi liberal yang sangat ditentukan oleh partai-partai politik melalui free fight (Yahya Muhaimin, 1991:42, Bisnis dan Politik, Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980. Jakarta : LP3ES).
Sejak zaman pergerakan nasional, hubungan Soekarno dengan Mohammad Hatta yang seringkali disebut Dwitunggal, terjalin dengan baik. Sejak tahun 1930-an, keduanya  telah beberapa kali ditahan dan diasingkan oleh pemerintah kolonial Belanda, karena dianggap berbahaya bagi pemerintahan kolonial. Pada masa pendudukan Jepang, kedua tokoh ini mendapatkan pengakuan sebagai wakil-wakil rakyat Indonesia. Pada saat penyusunan naskah Proklamasi, keduanya terlibat dalam proses penyusunan naskah teks proklamasi kemerdekaan. Pada detik-detik menjelang pembacaan naskah proklamasi, Soekarno menolak desakan para pemuda untuk membacakan teks proklamasi lebih awal karena Mohammad Hatta belum datang. Ketika itu, Bung Karno berkata: “Saya tidak akan membacakan Proklamasi kemerdekaan jika Bung Hatta tidak ada. Jika mas Muwardi tidak mau menunggu Bung Hatta, silahkan baca sendiri, jawab Bung Karno kepada dr. Muwardi salah satu tokoh pemuda pada waktu itu yang mendesak segera dibacakan teks Proklamasi. Begitu percayanya Soekarno kepada Mohammad Hatta,  pada tahun 1949, ia meminta agar Mohammad Hatta selain menjadi Wakil Presiden, sekaligus juga menjadi Perdana Menteri.
Mohammad Hatta selalu menekankan perlunya dasar hukum dan pemerintahan yang bertanggung jawab, karena itu Hatta tidak setuju ketika Presiden Soekarno mengangkat dirinya sendiri sebagai formatur kabinet yang tidak perlu bertanggung jawab, tidak dapat diganggu gugat, serta menggalang kekuatan-kekuatan revolusioner guna membersihkan lawan-lawan politik yang tidak setuju dengan gagasannya. Konflik ini mencapai puncaknya. Setelah pemilihan umum 1955, Presiden Soekarno mengajukan konsep Demokrasi Terpimpin pada tanggal 21 Februari 1957 di hadapan para pemimpin partai dan tokoh masyarakat di Istana Merdeka. Presiden Soekarno mengemukakan Konsepsi Presiden, yang pada pokoknya berisi:
1.     Sistem Demokrasi Parlementer secara Barat, tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia, oleh karena itu harus diganti dengan Demokrasi Terpimpin.
1.     Untuk pelaksanaan Demokrasi Terpimpin perlu dibentuk suatu kabinet gotong royong yang angotanya terdiri dari semua partai dan organisasi berdasarkan perimbangan kekuatan yang ada dalam masyarakat. Konsepsi Presiden ini, mengetengahkan pula perlunya pembentukan Kabinet Kaki Empat yang mengandung arti bahwa keempat partai besar, yakni PNI, Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI), turut serta di dalamnya untuk menciptakan kegotongroyongan nasional.
2.     Pembentukan Dewan Nasional yang terdiri dari golongan-golongan fungsional dalam masyarakat. Dewan Nasional ini, tugas utamanya adalah memberi nasihat kepada Kabinet, baik diminta maupun tidak diminta.
Dengan konsep yang diajukan Soekarno itu, Hatta menganggap Bung Karno sudah mulai meninggalkan demokrasi dan ingin memimpin segalanya. Sebagai pejuang demokrasi, ia tidak dapat menerima perilaku Bung Karno. Padahal, rakyat telah memilih sistem demokrasi yang mensyaratkan persamaan hak dan kewajiban bagi semua warga negara dan dihormatinya supremasi hukum. Bung Karno mencoba berdiri di atas semua itu, dengan alasan rakyat perlu dipimpin dalam memahami demokrasi yang benar. Jelas, bagi Bung Hatta, ini adalah sebuah contradictio in terminis. Di satu sisi ingin mewujudkan demokrasi, sedangkan di sisi lain duduk di atas demokrasi. Pembicaraan, teguran, dan peringatan terhadap Soekarno, sahabat seperjuangannya, telah dilakukan. Tetapi Soekarno tidak berubah sikap. Sebaliknya, Hatta pun tidak menyesuaikan dirinya dengan pandangan sikap dan pendapat Soekarno.
      Mohammad Hatta telah mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden, sebelum Soekarno menyampaikan konsep Demokrasi Terpimpin secara resmi. Pada tanggal 1 Desember 1956, Mohammad Hatta mengirimkan surat pengunduran dirinya sebagai Wakil Presiden kepada DPR hasil Pemilihan Umum 1955. Pada tanggal 5 Februari 1957 berdasarkan Keputusan Presiden No. 13 Tahun 1957, Presiden Soekarno memberhentikan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden. Namun, pengunduran diri Mohammad Hatta dari posisi Wakil Presiden tidak mengakibatkan hubungan pribadi keduanya menjadi putus. Bung Karno dan Bung Hatta tetap menjaga persahabatan yang telah mereka jalin sejak lama.
      Pengunduran diri ini lebih disebabkan oleh karena perbedaan pendapat dengan Presiden. Pengunduran diri Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden, tidak diikuti dengan gejolak politik. Juga tidak ada tekanan-tekanan dari pihak luar. Perbedaan pendapat antara Mohammad Hatta dengan Soekarno, lebih kepada visi dan pendekatan Mohammad Hatta  yang berbeda dengan Soekarno dalam mengelola Negara. Perbedaan itu, sesungguhnya telah terjadi sejak awal. Namun, perbedaan itu makin memuncak pada pertengahan tahun 1950-an. Soekarno menganggap revolusi belum selesai, sementara Hatta menganggap sudah selesai sehingga pembangunan ekonomi harus diprioritaskan (Adnan Buyung Nasution, Refleksi Pemikiran Hatta Tentang Hukum dan HAM, Jakarta: CIDES, 20 Juni 2002).
      Meskipun telah mengundurkan diri, banyak orang yang menghendaki agar Bung Hatta aktif kembali. Di dalam Musyawarah Nasional tanggal 10 September 1957, dibahas “Masalah Dwitunggal Soekarno-Hatta Demikian pula di DPR, beberapa anggota DPR mengajukan mosi mengenai “Pemulihan Kerjasama Dwitunggal Soekarno-Hatta. DPR kemudian menerima mosi mengenai Pembentukan Panitia Ad Hoc untuk mencari “bentuk kerjasama Soekarno-Hatta. Panitia itu dibentuk pada tanggal 29 November 1957 dan dikenal sebagai Panitia Sembilan?, yang diketuai oleh Ahem Erningpraja. Namun, Panitia Sembilan ini dibubarkan pada Bulan Maret 1958 tanpa menghasilkan sesuatu yang nyata (Sekretariat Negara RI, 1981: 30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964).
      Pada sisi lain, Mohammad Hatta adalah Wakil Presiden yang mampu menjadi satu kesatuan dengan Presiden Soekarno, sehingga seringkali disebut Dwitunggal. Pelaksanaan konsep Dwitunggal Soekarno-Hatta telah menempatkan kedudukan dan fungsi Wakil Presiden menjadi sama dengan Presiden, padahal menurut UUD 1945 kedudukan Wakil Presiden adalah sebagai Pembantu Presiden? serta dapat menggantikan Presiden jika Presiden berhalangan. Fenomena ini menjadi semakin jelas apabila diperhatikan praktik ketatanegaraan yang berlangsung antara tahun 1945 sampai tahun 1956. Pada  masa ini, Wakil Presiden banyak melakukan tindakan mengumumkan/ mengeluarkan peraturan perundang-undangan antara lain, Maklumat Wakil Presiden No.X tanggal 16 Oktober 1945; Maklumat Pemerintah tanggal 17 Oktober 1945 tentang Permakluman Perang; Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 tentang pendirian partai politik; dan Undang-undang Nomor 16 Tahun 1946 tentang Keadaan Bahaya.
       Pada saat berlaku UUD RIS 1949 dan  UU Nomor 7 Tahun 1949 tentang Penunjukkan Pemangku Sementara Jabatan Presiden Republik Indonesia, Indonesia menganut sistem parlementer. Jika keadaan ini dihubungkan dengan persoalan Presiden berhalangan serta pengisian jabatannya untuk sementara oleh Wakil Presiden, maka tindakan yang dilakukan oleh Wakil Presiden di bidang ketatanegaraan dapat ditafsirkan sebagai suatu pengisian jabatan Presiden untuk sementara oleh Wakil Presiden. Dari sudut konsep Dwitunggal, maka tindakan Wakil Presiden merupakan perwujudan dari konsep itu.
Demokrasi parlementer
    Tidak lama setelah itu, Indonesia mengadopsi undang-undang baruyang terdiri dari sistem parlemen di mana dewan eksekutifnya dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada parlemen atau MPR. MPR terbagi kepada partai-partai politik sebelum dan sesudah pemilu pertama pada tahun 1955, sehingga koalisi pemerintah yang stabil susah dicapai.
     Peran Islam di Indonesia menjadi hal yang rumit. Soekarno lebih memilih negara sekuler yang berdasarkan Pancasila sementara beberapa kelompok Muslim lebih menginginkan negara Islam atau undang-undang yang berisi sebuah bagian yang menyaratkan umat Islam takluk kepada hukum Islam.
Demokrasi Terpimpin
      Pemberontakan yang gagal di Sumatera, Sulawesi, Jawa Barat dan pulau-pulau lainnya yang dimulai sejak 1958, ditambah kegagalan MPR untuk mengembangkan konstitusi baru, melemahkan sistem parlemen Indonesia. Akibatnya pada 1959 ketika Presiden Soekarnosecara unilateral membangkitkan kembali konstitusi 1945 yang bersifat sementara, yang memberikan kekuatan presidensil yang besar, dia tidak menemui banyak hambatan.
      Dari 1959 hingga 1965, Presiden Soekarno berkuasa dalam rezim yang otoriter di bawah label “Demokrasi Terpimpin“. Dia juga menggeser kebijakan luar negeri Indonesia menuju non-blok, kebijakan yang didukung para pemimpin penting negara-negara bekas jajahan yang menolak aliansi resmi dengan Blok Barat maupun Blok Uni Soviet. Para pemimpin tersebut berkumpul di Bandung, Jawa Baratpada tahun 1955 dalam KTT Asia-Afrika untuk mendirikan fondasi yang kelak menjadi Gerakan Non-Blok.
       Pada akhir 1950-an dan awal 1960-an, Soekarno bergerak lebih dekat kepada negara-negara komunis Asia dan kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) di dalam negeri. Meski PKI merupakan partai komunis terbesar di dunia di luar Uni Soviet dan China, dukungan massanya tak pernah menunjukkan penurutan ideologis kepada partai komunis seperti di negara-negara lainnya.
Konfrontasi Indonesia-Malaysia
     Soekarno menentang pembentukan Federasi Malaysia dan menyebut bahwa hal tersebut adalah sebuah “rencana neo-kolonial” untuk mempermudah rencana komersial Inggris di wilayah tersebut. Selain itu dengan pembentukan Federasi Malaysia, hal ini dianggap akan memperluas pengaruh imperialisme negara-negara Barat di kawasan Asia dan memberikan celah kepada negara Inggris dan Australia untuk mempengaruhi perpolitikan regional Asia. Menanggapi keputusan PBB untuk mengakui kedaulatan Malaysia dan menjadikan Malaysia anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, presiden Soekarno mengumumkan pengunduran diri negara Indonesia dari keanggotaan PBB pada tanggal 20 Januari 1965 dan mendirikan Konferensi Kekuatan Baru (CONEFO) sebagai tandingan PBB danGANEFO sebagai tandingan Olimpiade. Pada tahun itu juga konfrontasi ini kemudian mengakibatkan pertempuran antara pasukan Indonesia dan Malaysia (yang dibantu oleh Inggris).
Nasib Irian Barat
     Pada saat kemerdekaan, pemerintah Belanda mempertahankan kekuasaan terhadap belahan barat pulau Nugini (Papua), dan mengizinkan langkah-langkah menuju pemerintahan-sendiri dan pendeklarasian kemerdekaan pada 1 Desember 1961.
      Negosiasi dengan Belanda mengenai penggabungan wilayah tersebut dengan Indonesia gagal, dan pasukan penerjun payung Indonesia mendarat di Irian pada 18 Desember sebelum kemudian terjadi pertempuran antara pasukan Indonesia dan Belanda pada 1961 dan 1962. Pada 1962 Amerika Serikat menekan Belanda agar setuju melakukan perbincangan rahasia dengan Indonesia yang menghasilkan Perjanjian New York pada Agustus 1962, dan Indonesia mengambil alih kekuasaan terhadap Irian Jaya pada 1 Mei 1963.
Gerakan 30 September
Hingga 1965, PKI telah menguasai banyak dari organisasi massa yang dibentuk Soekarno untuk memperkuat dukungan untuk rezimnya dan, dengan persetujuan dari Soekarno, memulai kampanye untuk membentuk “Angkatan Kelima” dengan mempersenjatai pendukungnya. Para petinggi militer menentang hal ini.
Pada 30 September 1965, enam jendral senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana yang loyal kepada PKI. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto, menumpas kudeta tersebut dan berbalik melawan PKI. Soeharto lalu menggunakan situasi ini untuk mengambil alih kekuasaan. Lebih dari puluhan ribu orang-orang yang dituduh komunis kemudian dibunuh. Jumlah korban jiwa pada1966 mencapai setidaknya 500.000; yang paling parah terjadi di Jawadan Bali.

B.     Masa pemerintahan orde baru
Orde Baru dikukuhkan dalam sebuah sidang MPRS yang berlangsung pada Juni-Juli 1966. diantara ketetapan yang dihasilkan sidang tersebut adalah mengukuhkan Supersemar dan melarang PKI berikut ideologinya tubuh dan berkembang di Indonesia. Menyusul PKI sebagai partai terlarang, setiap orang yang pernah terlibat dalam aktivitas PKI ditahan. Sebagian diadili dan dieksekusi, sebagian besar lainnya diasingkan ke pulau Buru.[8]  Pada masa Orde Baru pula pemerintahan menekankan stabilitas nasional dalam program politiknya dan untuk mencapai stabilitas nasional terlebih dahulu diawali dengan apa yang disebut dengan konsensus nasional. Ada dua macam konsensus nasional, yaitu :
1.    Pertama berwujud kebulatan tekad pemerintah dan masyarakat untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Konsensus pertama ini disebut juga dengan konsensus utama.
2.     Sedangkan konsensus kedua adalah konsensus mengenai cara-cara melaksanakan konsensus utama. Artinya, konsensus kedua lahir sebagai lanjutan dari konsensus utama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Konsensus kedua lahir antara pemerintah dan partai-partai politik dan masyarakat.
      Setelah Kabinet Ampera terbentuk (25 Juli 1966). Menyusul tekad membangun dicanangkan UU Penanaman Modal Asing (10 Januari 1967), kemudian Penyerahan Kekuasaan Pemerintah RI dari Soekarno kepada Mandataris MPRS (12 Februari 1967), lalu disusul pelantikan Soeharto (12 Maret 1967) sebagai Pejabat Presiden sungguh merupakan kebahagiaan tersendiri bagi Gerakan Pemuda Ansor.
      Luapan kegembiraan itu tercermin dalam Kongres VII GP Ansor di Jakarta. Ribuan utusan yang hadir seolah tak kuat membendung kegembiraan atas runtuhnya pemerintahan Orde Lama, dibubarkannya PKI dan diharamkanya komunisme, Marxisme dan Leninisme di bumi Indonesia. Bukan berarti tak ada kekecewaan, justru dalam kongres VII itulah, rasa tak puas dan kecewa terhadap perkembangan politik pasca Orla ramai diungkapkan. Seperti diungkapkan Ketua Umum GP Ansor Jahja Ubaid SH, bahwa setelah mulai rampungnya perjuangan Orde Baru, diantara partner sesama Orba telah mulai melancarkan siasat untuk mengecilkan peranan GP Ansor dalam penumpasan G-30 S/PKI dan penumbangan rezim Orde Lama. Bahwa suasana Kongres VII, dengan demikian, diliputi dengan rasa kegembiraan dan kekecewaan yang cukup mendalam.
      Kongres VII GP Ansor berlangsung di Jakarta, 23-28 Oktober 1967. hadir dalam kongres tersebut sejumlah utusan dari 26 wilayah (Propinsi) dan 252 Cabang (Kabupaten) se-Indonesia. Hadir pula menyampaikan amanat; Ketua MPRS Jenderal A.H.Nasution; Pejabat Presiden Jenderal Soeharto; KH. Dr Idham Chalid (Ketua PBNU); H.M.Subchan ZE (Wakil Ketua MPRS); H. Imron Rosyadi, SH (mantan Ketua Umum PP.GP Ansor) dan KH.Moh. Dachlan (Ketua Dewan Partai NU dan Menteri Agama RI)
     Kongres kali ini merupakan moment paling tepat untuk menjawab segala persoalan yang timbul di kalangan Ansor. Karena itu, pembahasan dalam kongres akhirnya dikelompokan menjadi tiga tema pokok: (1) penyempurnaan organisasi; (2) program perjuangan gerakan; dan (3) penegasan politik gerakan. Penegasan Politik GerakanDalam kongres ini juga merumuskan Penegasan Politik Gerakan sbb:
(1) Menengaskan Orde Baru dengan beberapa persyaratan: (a). membasmi komunisme, marxisme, dan leninisme. (b) menolak kembalinya kekuasaan totaliter/Orde Lama, segala bentuk dalam manifestasinya. (c) mempertahankan kehidupan demokrasi yang murni dan (d) mempertahankan eksistensi Partijwezen;
(2) Toleransi Agama dijamin oleh UUD 1945. Dalam pelaksanaannya harus memperhatikan kondisi daerah serta perasaan penganut-penganut agama lain;
(3) Mempertahankan politik luar negeri yang bebas aktif, anti penjajahan dan penindasaan dalam menuju perdamaian dunia.
     Rumusan penegasan politik tersebut tentu dilatarbelakangi kajian mendalam mengenai situasi politik yang berkembang saat itu. Kajian atau analisis itu, juga mengantisipasi perkembangan berikutnya. Memang begitulah yang dilakukan kongres. Perkara politik itu pula-lah yang paling menonjol dalam kongres VII tersebut.
     Itulah sebabnya, dalam kongres itu diputuskan: Bahwa GP Ansor memutuskan untuk ikut di dalamnya dalam penumpasan sisa-sisa PKI yang bermotif ideologis dan strategis. Kepada yang bermotif Politis. Ansor menghadapinya secara kritis dan korektif. Sedangkan yang bermotif terror, GP.Ansor harus menentang dan berusaha menunjukkan kepalsuannya.
    Atas dasar itulah, GP Ansor mendukung dan ikut di dalamnya dalam operasi penumpasan sisa-sisa PKI di Blitar dan Malang yang dikenal dengan operasi Trisula. Bahkan GP Ansor waktu itu sempat mengirim telegram ucapan selamat kepada Pangdam VIII/Brawijaya atas suksenya operasi tersebut. Ansor ikut operasi itu karena, operasi di kedua daerah tersebut bermotif ideologis dan strategis.
      Sesungguhnya kongres juga telah memperediksi sesuatu bentuk kekuasaan yang bakal timbul. Karena itu, sejak awal Ansor telah menegaskan sikapnya: menolak kembalinya pemerintahan tiran. Orde Baru ditafsirkan sebagai Orde Demokrasi yang bukan hanya memberi kebebasan menyatakan pendapat melalui media pers atau mimbar-mimbar ilmiah. Tapi, demokrasi diartikan sebagai suatu Doktrin Pemerintahan yang tidak mentolerir pengendapan kekuasaan totaliter di suatu tempat. Seperti kata Michael Edwards dalam buku Asian in the Balance, bahwa kecenderungan di Asia, akan masuk liang kubur dan muncul authoritarianism.
       Pendeknya, demokrasi pada mulanya di salah gunakan oleh pemegang kekuasaan yang korup hingga mendorong Negara ke arah Kebangkrutan. Lalu, sebelum meledak bentrokan-bentrokan sosial, kaum militer mengambil alih kekuasaan, dan dengan kekuasaan darurat itulah ditegakkan pemerintahan otoriter. Begitulah kira-kira Michael Edwards. Masalah Toleransi Agama, Selain masalah politik, kongres juga merumuskan pola kerukunan antar umat beragama. Rumusan tersebut mengacu pada UUD 1945 yang menjamin toleransi itu sendiri, dan dalam pelaksanaannya harus memperhatikan kondisi daerah serta perasaan penganut agama lain.
     Masalah toleransi agama di bahas serius karena, pada waktu itu pertentangan agama sudah mulai memburuk. Bahkan bentrokan fisik telah terjadi di mana-mana. Akibatnya timbul isu yang mendiskreditkan Partai Islam dan Umat Islam. Isu yang paling keras pada waktu itu adalah mendirikan Negara Islam. Sehingga, di berbagai daerah ormas Islam maupun Partai Islam selalu dicurigai aparat keamanan. Dakwah-dakwah semakin di batasi bahkan ada pula yang terpaksa di larang. Terakhir, malah dikeluarkan garis kebijaksanaan di kalangan ABRI yang sangat merugikan partai Islam dan Umat Islam. Dalam Kongres VII juga menyampaikan memorandum kepada pemerintah mengenai masalah politik dan ekonomi. Dan isi dari memorandum tak lain adalah manifestasi dari komitmen terhadap ideology Pancasila.
1.     C.    Masa Reformasi
Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan “Era Reformasi“.Masih adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai “Era Pasca Orde Baru”.
Berakhirnya rezim Orde Baru, telah membuka peluang guna menata kehidupan demokrasi. Reformasi politik, ekonomi dan hukum merupakan agenda yang tidak bisa ditunda. Demokrasi menuntut lebih dari sekedar pemilu. Demokrasi yang mumpuni harus dibangun melalui struktur politik dan kelembagaan demokrasi yang sehat. Namun nampaknya tuntutan reformasi politik, telah menempatkan pelaksanan pemilu menjadi agenda pertama. Pemilu pertama di masa reformasi hampir sama dengan pemilu pertama tahun 1955 diwarnai dengan kejutan dan keprihatinan. Pertama, kegagalan partai-partai Islam meraih suara siginifikan. Kedua, menurunnya perolehan suara Golkar. Ketiga, kenaikan perolehan suara PDI P. Keempat, kegagalan PAN, yang dianggap paling reformis, ternyata hanya menduduki urutan kelima. Kekalahan PAN, mengingatkan pada kekalahan yang dialami Partai Sosialis, pada pemilu 1955, diprediksi akan memperoleh suara signifikan namun lain nyatanya.
Pemerintahan B.J Habibie
       Sidang Istimewa MPR yang mengukuhkan Habibie sebagai Presiden, ditentang oleh gelombang demonstrasi dari puluhan ribu mahasiswa dan rakyat di Jakarta dan di kota-kota lain. Gelombang demonstrasi ini memuncak dalam peristiwa Tragedi Semanggi, yang menewaskan 18 orang. Masa pemerintahan Habibie ditandai dengan dimulainya kerjasama dengan Dana Moneter Internasional untuk membantu dalam proses pemulihan ekonomi. Selain itu, Habibie juga melonggarkan pengawasan terhadap media massa dan kebebasan berekspresi.
      Presiden BJ Habibie mengambil prakarsa untuk melakukan koreksi. Sejumlah tahanan politik dilepaskan. Sri Bintang Pamungkas danMuchtar Pakpahan dibebaskan, tiga hari setelah Habibie menjabat. Tahanan politik dibebaskan secara bergelombang. Tetapi, Budiman Sudjatmiko dan beberapa petinggi Partai Rakyat Demokratik baru dibebaskan pada era Presiden Abdurrahman Wahid. Setelah Habibie membebaskan tahanan politik, tahanan politik baru muncul. Sejumlah aktivis mahasiswa diadili atas tuduhan menghina pemerintah atau menghina kepala negara. Desakan meminta pertanggungjawaban militer yang terjerat pelanggaran HAM tak bisa dilangsungkan karena kuatnya proteksi politik. Bahkan, sejumlah perwira militer yang olehMahkamah Militer Jakarta telah dihukum dan dipecat karena terlibat penculikan, kini telah kembali duduk dalam jabatan struktural.
      Beberapa langkah perubahan diambil oleh Habibie, seperti liberalisasi parpol, pemberian kebebasan pers, kebebasan berpendapat, dan pencabutan UU Subversi. Walaupun begitu Habibie juga sempat tergoda meloloskan UU Penanggulangan Keadaan Bahaya, namun urung dilakukan karena besarnya tekanan politik dan kejadian Tragedi Semanggi II yang menewaskan mahasiswa UI, Yun Hap. Kejadian penting dalam masa pemerintahan Habibie adalah keputusannya untuk mengizinkan Timor Timur untuk mengadakan referendum yang berakhir dengan berpisahnya wilayah tersebut dari Indonesia pada Oktober 1999. Keputusan tersebut terbukti tidak populer di mata masyarakat sehingga hingga kini pun masa pemerintahan Habibie sering dianggap sebagai salah satu masa kelam dalam sejarah Indonesia. Presiden Habibie segera membentuk sebuah kabinet. Salah satu tugas pentingnya adalah kembali mendapatkan dukungan dariDana Moneter Internasional dan komunitas negara-negara donor untuk program pemulihan ekonomi. Dia juga membebaskan para tahanan politik dan mengurangi kontrol pada kebebasan berpendapat dan kegiatan organisasi.
     Walaupun pengesahan hasil Pemilu 1999 sempat tertunda, secara umum proses pemilu multi partai pertama di era reformasi jauh lebih Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia (Luber) serta adil dan jujur dibanding masa Orde Baru. Hampir tidak ada indikator siginifikan yang menunjukkan bahwa rakyat menolak hasil pemilu yang berlangsung dengan aman. Realitas ini menunjukkan, bahwa yang tidak mau menerima kekalahan, hanyalah mereka yang tidak siap berdemokrasi, dan ini hanya diungkapkan oleh sebagian elite politik, bukan rakyat.
Pemeintahan Abdurahman Wahid.
      Pemilu untuk MPR, DPR, dan DPRD diadakan pada 7 Juni 1999.PDI Perjuangan pimpinan putri Soekarno, Megawati Sukarnoputrikeluar menjadi pemenang pada pemilu parlemen dengan mendapatkan 34% dari seluruh suara; Golkar (partai Soeharto – sebelumnya selalu menjadi pemenang pemilu-pemilu sebelumnya) memperoleh 22%;Partai Persatuan Pembangunan pimpinan Hamzah Haz 12%; Partai Kebangkitan Bangsa pimpinan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) 10%. Pada Oktober 1999, MPR melantik Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan Megawati sebagai wakil presiden untuk masa bakti 5 tahun. Wahid membentuk kabinet pertamanya, Kabinet Persatuan Nasional pada awal November 1999 dan melakukan reshufflekabinetnya pada Agustus 2000.
      Pemerintahan Presiden Wahid meneruskan proses demokratisasi dan perkembangan ekonomi di bawah situasi yang menantang. Di samping ketidakpastian ekonomi yang terus berlanjut, pemerintahannya juga menghadapi konflik antar etnis dan antar agama, terutama di Aceh, Maluku, dan Papua. Di Timor Barat, masalah yang ditimbulkan rakyat Timor Timur yang tidak mempunyai tempat tinggal dan kekacauan yang dilakukan para militan Timor Timur pro-Indonesia mengakibatkan masalah-masalah kemanusiaan dan sosial yang besar. MPR yang semakin memberikan tekanan menantang kebijakan-kebijakan Presiden Wahid, menyebabkan perdebatan politik yang meluap-luap.
Pemerintahan Megawati soekarno putri
      Pada Sidang Umum MPR pertama pada Agustus 2000, Presiden Wahid memberikan laporan pertanggung jawabannya. Pada 29 Januari2001, ribuan demonstran menyerbu MPR dan meminta Presiden agar mengundurkan diri dengan alasan keterlibatannya dalam skandal korupsi. Di bawah tekanan dari MPR untuk memperbaiki manajemen dan koordinasi di dalam pemerintahannya, dia mengedarkan keputusan presiden yang memberikan kekuasaan negara sehari-hari kepada wakil presiden Megawati. Megawati mengambil alih jabatan presiden tak lama kemudian.

Pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono
      Pemilu 2004, merupakan pemilu kedua dengan dua agenda, pertama memilih anggota legislatif dan kedua memilih presiden. Untuk agenda pertama terjadi kejutan, yakni naiknya kembali suara Golkar, turunan perolehan suara PDI-P, tidak beranjaknya perolehan yang signifikan partai Islam dan munculnya Partai Demokrat yang melewati PAN. Dalam pemilihan presiden yang diikuti lima kandidat (Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati Soekarno Putri, Wiranto, Amin Rais dan Hamzah Haz), berlangsung dalam dua putaran, telah menempatkan pasangan SBY dan JK, dengan meraih 60,95 persen.Susilo Bambang Yudhoyono tampil sebagai presiden baru Indonesia. Pemerintah baru ini pada awal masa kerjanya telah menerima berbagai cobaan dan tantangan besar, seperti gempa bumi besar di Aceh dan Nias pada Desember 2004 yang meluluh lantakkan sebagian dari Aceh serta gempa bumi lain pada awal 2005 yang mengguncang Sumatra.
      Pada 17 Juli 2005, sebuah kesepakatan bersejarah berhasil dicapai antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang bertujuan mengakhiri konflik berkepanjangan selama 30 tahun di wilayah Aceh. Atas prestasi SBY yang di tanam sejak tahun 2004 telah mengantar beliau naik kembali duduk di kursi presiden dengan pasanganya pak Budiono pada pemilu tahun 2009, kinerja mereka pun belum dapat dirasakan dengan maksimal.


b.     Otonomi Daerah (pengertian, UUD yang mengatur,pelaksanaannya keberhasilannya ,kelebihan dan kelmahannya).
Pelaksanaan otonomi daerah kini memasuki tahapan baru setelah direvisinya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah atau lazim disebut UU Otonomi Daerah (Otda). Perubahan yang dilakukan di UU No. 32 Tahun 2004 bisa dikatakan sangat mendasar dalam pelaksanaan pemerintahan daerah. Secara garis besar, perubahan yang paling tampak adalah terjadinya pergeseran-pergeseran kewenangan dari satu lembaga ke lembaga lain. Konsep otonomi luas, nyata, dan bertanggungjawab tetap dijadikan acuan dengan meletakkan pelaksanaan otonomi pada tingkat daerah yang paling dekat dengan masyarakat. Tujuan pemberian otonomi tetap seperti yang dirumuskan saat ini yaitu memberdayakan daerah, termasuk masyarakatnya, mendorong prakarsa dan peran serta masyarakat dalam proses pemerintahan dan pembangunan.
Pemerintah juga tidak lupa untuk lebih meningkatkan efisiensi, efektivitas dan akuntabilitas penyelenggaraan fungsi-fungsi seperti pelayanan, pengembangan dan perlindungan terhadap masyarakat dalam ikatan NKRI. Asas-asas penyelenggaraan pemerintahan seperti desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan, diselenggarakan secara proporsional sehingga saling menunjang.
Dalam UU No. 32 Tahun 2004, digunakan prinsip otonomi seluas-luasnya, di mana daerah diberi kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan kecuali urusan pemerintah pusat yakni :
1.       politik luar negeri,
2.       pertahanan dan keamanan,
3.       moneter/fiskal,
4.       peradilan (yustisi),
5.       agama.
Pemerintah pusat berwenang membuat norma-norma, standar, prosedur, monitoring dan evaluasi, supervisi, fasilitasi dan urusan-urusan pemerintahan dengan eksternalitas nasional. Pemerintah provinsi berwenang mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan dengan eksternal regional, dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan dengan eksternalitas lokal.
Dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 (Amandemen) disebutkan, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah Provinsi dan daerah Provinsi itu dibagi atas Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap Provinsi, Kabupaten, dan Kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan UU. Tampak nuansa dan rasa adanya hierarki dalam kalimat tersebut. Pemerintah Provinsi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah diakomodasi dalam bentuk urusan pemerintahan menyangkut pengaturan terhadap regional yang menjadi wilayah tugasnya.
Urusan yang menjadi kewenangan daerah, meliputi urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah suatu urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar; sedangkan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan terkait erat dengan potensi unggulan dan kekhasan daerah.
UU No. 32 Tahun 2004 mencoba mengembalikan hubungan kerja eksekutif dan legislatif yang setara dan bersifat kemitraan. Sebelum ini kewenangan DPRD sangat besar, baik ketika memilih kepala daerah, maupun laporan pertanggungjawaban (LPJ) tahunan kepala daerah. Kewenangan DPRD itu dalam penerapan di lapangan sulit dikontrol. Sedangkan sekarang, kewenangan DPRD banyak yang dipangkas, misalnya aturan kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat, DPRD yang hanya memperoleh laporan keterangan pertanggungjawaban, serta adanya mekanisme evaluasi gubernur terhadap rancangan Perda APBD agar sesuai kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Pemerintahan Daerah adalah pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan daerah yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan daerah yaitu Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Hubungan antara pemerintah daerah dan DPRD merupakan hubungan kerja yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan. Hubungan kemitraan bermakna bahwa antara Pemerintah Daerah dan DPRD adalah sama-sama mitra sekerja dalam membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan fungsi masing-masing sehingga antar kedua lembaga itu membangun suatu hubungan kerja yang sifatnya saling mendukung bukan merupakan lawan ataupun pesaing satu sama lain dalam melaksanakan fungsi masing-masing.
Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat yang persyaratan dan tata caranya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat dicalonkan baik oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu yang memperoleh sejumlah kursi tertentu dalam DPRD dan atau memperoleh dukungan suara dalam Pemilu Legislatif dalam jumlah tertentu.
Melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) provinsi, kabupaten, dan kota diberikan kewenangan sebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah. Agar penyelengaraan pemilihan dapat berlangsung dengan baik, maka DPRD membentuk panitia pengawas. Kewenangan KPUD provinsi, kabupaten, dan kota dibatasi sampai dengan penetapan calon terpilih dengan berita acara yang selanjutnya KPUD menyerahkan kepada DPRD untuk diproses pengusulannya kepada Pemerintah guna mendapatkan pengesahan.
Dalam UU No 32 Tahun2004 terlihat adanya semangat untuk melibatkan partisipasi publik. Di satu sisi, pelibatan publik (masyarakat) dalam pemerintahan atau politik lokal mengalami peningkatan luar biasa dengan diaturnya pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung. Dari anatomi tersebut, jelaslah bahwa revisi yang dilakukan terhadap UU No. 22 Tahun 1999 dimaksudkan untuk menyempurnakan kelemahan-kelemahan yang selama ini muncul dalam pelaksanaan otonomi daerah. Sekilas UU No. 32 tahun 2004 masih menyisakan banyak kelemahan, tapi harus diakui pula banyak peluang dari UU tersebut untuk menciptakan good governance (pemerintahan yang baik).