Rabu, 16 Januari 2013

Kajian Kebudayaan Manusia Pasca Modern

Nama   :  Tehrizka Tambihan
NPM   :   37412336
Kelas   :    1ID01


Postmodernisme adalah faham yang berkembang setelah era modern dengan modernisme-nya. Postmodernisme bukanlah faham tunggal sebuat teori, namun justru menghargai teori-teori yang bertebaran dan sulit dicari titik temu yang tunggal. Banyak tokoh-tokoh yang memberikan arti postmodernisme sebagai kelanjutan dari modernisme. Namun kelanjutan itu menjadi sangat beragam. BagiLyotard dan Geldner, modernisme adalah pemutusan secara total dari modernisme. Bagi DerridaFoucault dan Baudrillard, bentuk radikal dari kemodernan yang akhirnya bunuh diri karena sulit menyeragamkan teori-teori. Bagi David Graffin, Postmodernisme adalah koreksi beberapa aspek dari moderinisme. Lalu bagi Giddens, itu adalah bentuk modernisme yang sudah sadar diri dan menjadi bijak. Yang terakhir, bagi Habermas, merupakan satu tahap dari modernisme yang belum selesai.
Semenjak awal paruh kedua abad ke-20 M, tepatnya pada kisaran tahun
1960-an, postmodernisme telah muncul sebagai diskursus kebudayaan yang
banyak menarik perhatian. Berbagai bidang kehidupan dan disiplin ilmu
seperti: seni, arsitektur, sastra, sosiologi, sejarah, antropologi, politik
dan filsafat hampir secara bersamaan memberikan tanggapan terhadap tema
postmodernisme. Meskipun tidak mudah atau malah hampir tidak ada cara baku
untuk mendefinisikan postmodernisme, namun tema ini bukanlah lahir tanpa
sejarah. Postmodernisme hadir setelah melalui perjalanan sejarah yang
membentuknya hingga sampai pada keadaannya saat ini. Inilah postmodernisme
yang menggugat watak modernisme lanjut yang monoton, positivistik,
rasionalistik dan teknosentris; modernisme yang yakin secara fanatik pada
kemajuan sejarah yang linear, kebenaran ilmiah yang mutlak, kecanggihan
rekayasa masyarakat yang diidealkan, serta pembakuan secara ketat tata
pengetahuan dan sistem produksi; modernisme yang kehilangan semangat
emansipasi dan terperangkap dalam sistem yang tertutup; dan modernisme yang
tak lagi peka pada perbedaan dan keunikan (Ariel Heryanto, 1994: 80).
Sebaliknya, postmodernisme menawarkan ciri-ciri yang bertolak belakang
dengan watak era pendahulunya, yakni: menekankan emosi ketimbang rasio,
media ketimbang isi, tanda ketimbang makna, kemajemukan ketimbang
penunggalan, kemungkinan ketimbang kepastian, permainan ketimbang
keseriusan, keterbukaan ketimbang pemusatan, yang lokal ketimbang yang
universal, fiksi ketimbang fakta, estetika ketimbang etika dan narasi
ketimbang teori (Ariel Heryanto, 1994: 80). Karakter yang sering disuarakan
postmodernisme antara lain adalah pluralisme, heterodoks, eklektisisme,
keacakan, pemberontakan, deformasi, dekreasi, disintegrasi, dekonstruksi,
pemencaran, perbedaan, diskontinuitas, dekomposisi, de-definisi,
demistifikasi, delegitimasi serta demistifikasi (Bertens, 1995: 44).

Merujuk Akbar S. Ahmed, dalam bukunya Postmodernism and Islam (1992),
terdapat delapan ciri karakter sosiologis postmodernisme. Pertama,
timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas,
memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden dan semakin
diterimanya pandangan pluralisme-relativisme kebenaran. Kedua, meledaknya
industri media massa, sehingga ia seolah merupakan perpanjangan dari sistem
indera, organ dan syaraf manusia. Kondisi ini pada gilirannya menjadikan
dunia dan ruang realitas kehidupan terasa menyempit. Lebih dari itu,
kekuatan media massa telah menjelma menjadi Agama dan Tuhan baru yang
menentukan kebenaran dan kesalahan perilaku manusia. Ketiga, munculnya
radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul sebagai reaksi
manakala orang semakin meragukan kebenaran ilmu, teknologi dan filsafat
modern yang dinilai gagal memenuhi janji emansipatoris untuk membebaskan
manusia dan menciptakan kehidupan yang lebih baik. Keempat, munculnya
kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta
keterikatan romantisme dengan masa lampau. Kelima, semakin menguatnya
wilayah perkotaan (urban area) sebagai pusat kebudayaan dan sebaliknya,
wilayah pedesaan (rural area) sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga
berlaku bagi menguatnya dominasi negara maju (Negara Dunia Pertama) atas
negara berkembang (Negara Dunia Ketiga). Keenam, semakin terbukanya peluang
bagi pelbagai kelas sosial atau kelompok minoritas untuk mengemukakan
pendapat secara lebih bebas dan terbuka. Dengan kata lain, era
postmodernisme telah turut mendorong proses demokratisasi. Ketujuh,
munculnya kecenderungan bagi tumbuhnya ekletisisme dan pencampuradukan
berbagai diskursus, nilai, keyakinan dan potret serpihan realitas, sehingga
sekarang sulit untuk menempatkan suatu objek budaya secara ketat pada
kelompok budaya tertentu secara eksklusif. Kedelapan, bahasa yang digunakan
dalam diskursus postmodernisme seringkali mengesankan tidak lagi memiliki
kejelasan makna dan konsistensi, sehingga bersifat paradoks (Ahmed, 1992:
143-4).

Istilah postmodernisme, merujuk Ihab Hassan, dipergunakan pertama kali oleh
Federico de Onis, seorang kritikus seni, pada tahun 1930 dalam tulisannya
Antologia de la Poesia Espanola a Hispanoamericana untuk menunjuk kepada
reaksi minor terhadap modernisme yang muncul pada saat itu (Featherstone,
1988: 202). Istilah ini kemudian sangat populer di tahun 1960-an ketika
seniman-seniman muda, penulis dan krikitus seni seperti Hassan,
Rauschenberg, Cage, Barthelme, Fielder dan Sontag menggunakannya sebagai
nama gerakan penolakan terhadap seni modernisme lanjut. Seni postmodern
memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan seni modernisme lanjut, yakni:
hilangnya batas antara seni dan kehidupan sehari-hari, runtuhnya distingsi
antara budaya tinggi dan budaya massa/populer, maraknya gaya eklektis dan
campur aduk, munculnya kitsch, parodi, pastiche, camp dan ironi, merosotnya
kedudukan pencipta seni, serta adanya asumsi seni sebagai pengulangan,
perpetual art (Featherstone, 1988: 202). Penggunaan istilah postmodernisme
selanjutnya perlahan-lahan mulai menyentuh bidang-bidang yang lain. Dalam
bidang arsitektur, istilah postmodernisme mengacu kepada perlawanan
bentuk-bentuk arsitektur modern yang menonjolkan keteraturan, rasionalitas,
objektif, praktis, ruang isotropis dan estetika mesin, dimana prinsip
bentuk mengikuti fungsi menjadi dewa. Arsitektur postmodernisme,
sebaliknya menawarkan konsep bentuk asimetris, ambigu, naratif, simbolik,
terpiuh, penuh kejutan dan variasi, ekuivokal, penuh ornamen, metafor serta
akrab dengan alam (Andy Siswanto, 1994: 36). Doktrin bentuk mengikuti
fungsi dibalik menjadi fungsi mengikuti bentuk.

Jika modernitas dipahami sebagai kurun waktu sejarah yang berkembang
semenjak era Renaisans, maka postmodernitas adalah kurun waktu sejarah yang
seringkali dikaitkan dengan perubahan realitas dunia seusai Perang Dunia II
(Featherstone, 1988: 197). Postmodernitas ditandai dengan lahirnya
totalitas struktur sosial baru, perkembangan teknologi dan informasi yang
pesat, serta terbentuknya masyarakat komputerisasi, dunia simulasi dan
hiperrealitas.

Merujuk Mike Featherstone, seorang sosiolog dan kritikus kebudayaan,
postmodernisme memiliki tiga ruang pengertian yang berada dalam wilayah
kebudayaan. Pertama, sebagai perubahan bentuk teorisasi, presentasi dan
diseminasi karya seni dan intelektual yang tidak dapat dipisahkan dari
perubahan mikro dalam wilayah kebudayaan. Kedua, sebagai perubahan ruang
budaya yang lebih luas mencakup bentuk-bentuk produksi, konsumsi dan
sirkulasi tanda dan simbol yang dapat dikaitkan dengan perubahan yang lebih
luas pula dalam relasi keseimbangan dan kekuasaan dalam masyarakat. Ketiga,
sebagai perubahan praktek dan pengalaman keseharian berbagai kelompok yang
menggunakan rezim penandaan (regime of signification) dalam berbagai cara
dan gaya, serta mengembangkan sarana-sarana baru bagi orientasi dan
pembentukan identitas (Featherstone, 1988: 208).

Sementara itu, Daniel Bell, seorang sosiolog, bahkan melihat postmodernisme
sebagai puncak tendensi perlawanan terhadap modernisme, dengan hasrat,
insting dan kegairahan untuk membawa logika modernisme sampai ke titik
terjauh yang mungkin bisa dicapai (Featherstone, 1988: 202). Agak berbeda
dengan Bell, Jean Baudrillard, salah seorang pembicara terdepan
postmodernisme, memandang postmodernisme lebih sebagai strategi pembacaan
realitas dengan objek sentral prinsip reproduksi tanda-tanda, kapitalisme
multinasional yang membawa akibat perluasan luar biasa dalam dunia sosial
dan meledaknya budaya massa. Postmodernisme dengan demikian adalah metode
analisa kritis yang mencoba membongkar mitos dan anomali paradigma
modernisme, membuka ironi, intertekstualitas dan paradoks, mencoba
menemukan suatu teori masyarakat postmodern atau postmodernitas, dan
menggambarkannya dalam realitas sosial yang ada dalam masyarakat
kontemporer Barat dewasa ini (Featherstone, 1988: 204).

Untuk memudahkan pemetaan prinsip dan kedudukan modenisme dan
postmodernisme, Ihab Hassan mencoba menyusun sebuah tabel sistematis yang
menggambarkan perbandingan prinsip kedua paradigma pemikiran tersebut
(Harvey, 1995: 43):
Secara historis, kelahiran postmodernisme dapat dilacak jauh ke alur
sejarah kegagalan modernisme. Benih-benih kekecewaan terhadap modernisme
pertama kali muncul pada tahun 1950-an dalam dunia sastra, ketika Charles
Olson, seorang penyair Amerika, menggunakannya untuk menyebut gerakan
anti-modernisme dan anti-rasionalitas modern dalam dunia puisi kontemporer
Amerika (Bertens, 1995: 20). Gerakan anti-modernisme, yang dipelopori oleh
John Cage, Robert Rauschenberg, Merce Cunningham, ini adalah gerakan yang
mencoba membangun kesadaran untuk keluar dari kungkungan dan kuasa
rasionalitas seni modern. Para seniman dan penyair saat itu mulai merasa
jenuh berada dalam ketertutupan dan kekakuan rasionalitas instrumental
dunia modern. Dalam tulisannya Human Universe (1951), Olson menyatakan
bahwa dunia kebudayaan Barat, karena orientasi ontologisnya yang
membabi-buta terhadap rasionalitas modern, telah menyebabkan hilangnya
otentisitas kehidupan dan kesejatian pengalaman manusia. Sebagai akibatnya
manusia tidak lagi mampu mengalami dan menghayati kekayaan realitas
kehidupan dengan segenap keunikannya masing-masing (Bertens, 1995: 21). Hal
yang ada hanyalah sebuah realitas tunggal yang monolitik, dogmatis dan
ideologis. Sebaliknya, gerakan anti-modernisme menyatakan sikap penolakan
terhadap pandangan rasionalitas modern yang menjunjung tinggi
universalitas, subjek transenden, ego individual, dan merayakan otentisitas
kehidupan. Gerakan anti-modernisme hendak mencoba melawan keangkuhan nilai
dan estetika sastra modern.

Perbincangan mengenai postmodernisme selanjutnya berkembang dalam lapangan
seni. Pada kurun waktu tahun 1960-an, muncul tulisan-tulisan tentang
postmodernisme dengan artikulasi dan pemihakan yang lebih jelas. Dalam
dunia sastra, Ihab Hassan dan Susan Sontag menyatakan mulai bangkitnya
dunia sastra yang terdiam. Sontag juga menyatakan telah lahirnya
sensibilitas baru, yaitu suatu sikap yang lebih terbuka menerima
keberagaman gaya dan bentuk, serta tidak lagi menuntut penghormatan
terhadap seniman dan karya seni.

Selama rentang waktu tahun 1960 sampai 1970-an, perbincangan tentang
postmodernisme mulai masuk ke dunia arsitektur. Diruntuhkannya bangunan
perumahan Pruitt Igoe, St. Louis, Missouri, yang memiliki karakter
arsitektur modern (arus arsitektur International Style yang dipelopori Mies
van der Rohe) menandai lahirnya pemikiran arsitektur postmodernisme.
Arsitektur postmodern membawa tiga prinsip dasar yakni: kontekstualisme,
allusionisme dan ornamental. Prinsip kontekstualisme berarti adanya
pengakuan bahwa gaya arsitektur suatu bangunan selalu merupakan bagian
fragmental dari sebuah gaya arsitektur yang lebih luas. Prinsip
allusionisme berarti adanya keyakinan bahwa arsitektur selalu merupakan
tanggapan terhadap sejarah dan kebudayaan. Sementara prinsip ornamental
berarti pengakuan bahwa bangunan merupakan media pengungkapan makna-makna
arsitektural.

Adalah Robert Venturi, arsitek sekaligus teoritisi awal konsep arsitektur
postmodern, dalam bukunya Complexity and Contradiction in Architecture
(1966), yang mulai membuka pembicaraan konsep arsitektur postmodern. Ia
memaparkan bahwa arsitektur postmodern adalah konsepsi teoritis arsitektur
yang memiliki beberapa karakter. Menurutnya, arsitektur postmodern lebih
mengutamakan elemen gaya hibrida (ketimbang yang murni), komposisi paduan
(ketimbang yang bersih), bentuk distorsif (ketimbang yang utuh), ambigu
(ketimbang yang tunggal), inkonsisten (ketimbang yang konsisten), serta
kode ekuivokal (ketimbang yang monovokal) (Bertens, 1995: 54).

Sementara itu Charles Jencks, yang diakui sebagai mahaguru arsitektur
postmodern, dalam bukunya The Language of Postmodern Architecture (1977),
menyebut beberapa atribut konsep arsitektur postmodern. Beberapa atribut
tersebut adalah metafora, historisitas, ekletisisme, regionalisme,
adhocism, semantik, perbedaan gaya, pluralisme, sensitivisme, ironisme,
parodi dan tradisionalisme (Bertens, 1995: 58). Lebih lanjut arsitektur
postmodern, menurut Jencks juga memiliki sifat-sifat hibrida, kompleks,
terbuka, kolase, ornamental, simbolis dan humoris. Jencks juga menyatakan
bahwa konsep arsitektur postmodern ditandai oleh suatu ciri yang disebutnya
double coding. Double coding adalah prinsip arsitektur postmodern yang
memuat tanda, kode dan gaya yang berbeda dalam suatu konstruksi bangunan.
Arsitektur postmodern yang menerapkan prinsip double coding selalu
merupakan campuran ekletis antara tradisional/modern, populer/tinggi,
Barat/Timur, atau sederhana/complicated.

Memasuki rentang tahun 1980-an, tema postmodernisme mulai mendapat
perhatian yang lebih serius. Upaya membangun kerangka teoritis terhadap
tema ini terutama berlangsung dalam lapangan filsafat. Dalam bidang
filsafat, istilah postmodernisme kerap dipergunakan dengan acuan yang
sangat beragam. Walaupun karya masterpiece Jean Francois Lyotard, The
Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1984), tetap menjadi acuan
kunci, namun banyak kalangan mengaitkan istilah itu dengan teori
dekonstruksi Derrida, semiologi Barthes, semiotika Eco, poststrukturalisme
Foucault, hermeneutika Gadamer sampai kepada pemikiran holistisisme Capra,
Prigogine dan Whitehead. Istilah postmodernisme juga sering dirujukkan pada
berbagai fenomena realitas masyarakat kontemporer sebagai masyarakat
post-industri (post-industrial society), masyarakat komputer (computer
society), masyarakat konsumer (consumer society), masyarakat media (media
society), masyarakat tontonan (spectacle society) atau masyarakat tanda
(semiurgy society). Sementara kalangan memandang postmodernisme sebagai
bagian dari proyek modernisme yang belum usai (misalnya Juergen Habermas
dan Mahzab Frankfurt generasi kedua), sementara kalangan yang lain
memandang postmodernisme sebagai penolakan radikal terhadap nilai-nilai dan
asumsi-asumsi modernisme (misalnya Lyotard, Derrida, Foucault). Pauline M.
Rosenau, dalam bukunya Postmodernism and Social Sciences (1992), membedakan
postmodernisme menjadi dua bentuk. Pertama, postmodernisme sebagai
paradigma pemikiran. Sebagai paradigma pemikiran, postmodernisme meliputi
tiga aspek ontologi, epistemologi serta aksiologi. Ketiga aspek dasar ini
menjadi kerangka berpikir dan bertindak penganut postmodernisme bentuk
pertama (misalnya Lyotard, Derrida, Foucault). Kedua, postmodernisme
sebagai metode analisis kebudayaan. Dalam konteks ini, prinsip dan
pemikiran postmodernisme digunakan sebagai lensa membaca realitas sosial
budaya masyarakat kontemporer (misalnya Rortry dan Baudrillard). Dari arah
yang agak berbeda, Frederic Jameson menyatakan bahwa postmodernisme tak
lain adalah konsekuensi logis perkembangan kapitalisme lanjut. Melalui
tulisannya Postmodernism or The Cultural Logic of Late Capitalism (1989),
Jameson meyakinkan resiko tak terelakkan dari dominasi kapitalisme lanjut
yang telah menyempurnakan dirinya, yakni kapitalisme yang telah berubah
watak karena telah banyak belajar dari berbagai rongrongan dan kritik.
Kapitalisme yang titik beratnya bergeser dari industri manufaktur ke
industri jasa dan informasi. Kapitalisme yang, demi kepentingan jangka
panjang, secara cerdas mengakomodasikan tuntutan serikat pekerja,
kelangsungan hidup lingkungan, dan daya kreatif/kritis konsumen.
Kapitalisme yang mengintegrasikan banyak unsur sosialisme ke dalam dirinya.
Kapitalisme yang bekerja dengan prinsip desentralisasi dan deregulasi
karena sistem terpusat tak sigap menghadapi perubahan cepat. Kapitalisme
yang tidak menawarkan keseragaman gaya/citra kultural karena pasar dan
tenaga kerja telah mengalami diversifikasi begitu jauh.

Dengan perkembangan kapitalisme lanjut yang tampil dengan kehadiran
perusahaan multinasional, jaringan informasi global dan teknologi
telekomunikasi, maka whole new type of society pun lahir. Inilah masyarakat
yang dihuni oleh subjek-subjek dengan ciri-ciri terbelah, kehilangan rantai
hubungan pemaknaan, larut dalam citra-citra dan imaji serta gagal memahami
latar belakang sejarah dirinya sendiri (Turner, 1990: 170). Namun untuk
memahami postmodernisme secara mendasar terutama pada dataran ontologis
dan epistemologis adalah mutlak untuk mengetahui asumsi-asumsi dasar serta
argumentasi para penyuara postmodernisme dalam wilayah filsafat.

Jean Francois Lyotard adalah filsuf kelahiran Versailles Perancis yang
mulai meletakkan dasar argumentasi filosofis dalam diskursus
postmodernisme. Melalui bukunya yang segera menjadi klasik, The Condition
of Postmodern: A Report on Knowledge (1984), Lyotard mencatat beberapa ciri
utama kebudayaan postmodern. Menurutnya, kebudayaan postmodern ditandai
oleh beberapa prinsip yakni: lahirnya masyarakat komputerisasi, runtuhnya
narasi-narasi besar modernisme, lahirnya prinsip delegitimasi, disensus,
serta paralogi.

Masyarakat komputerisasi adalah sebutan yang diberikan Lyotard untuk
menunjuk gejala post-industrial masyarakat Barat menuju the information
technology era. Realitas sosial budaya masyarakat dewasa ini seperti yang
ditelitinya secara seksama di Quebec Kanada adalah masyarakat yang hidup
dengan ditopang oleh sarana teknologi informasi, terutama komputer. Dengan
komputerisasi, prinsip-prinsip produksi, konsumsi dan transformasi
mengalami revolusi radikal. Penggunaan tenaga manusia yang semakin terbatas
dalam sektor ekonomi, pelipatan ruang dalam dunia telekomunikasi,
percepatan pengolahan data dan informasi yang mampu mengubah bahkan
memanipulasi realitas, penyebaran pengetahuan dan kekuasaan secara massif,
adalah beberapa konsekuensi perkembangan teknologi (Sarup, 1989: 118).
Dalam masyarakat komputerisasi seperti ini, nilai-nilai serta asumsi dasar
modernisme: rasio, hukum sejarah linear, subjek, ego, narasi besar,
otonomi, identitas tidak lagi mampu menggambarkan realitas. Bahkan,
realitas telah berubah sesuai dengan perubahan karakter masyarakat
postmodernisme. Realitas masyarakat seperti inilah yang menjadi wadah,
arena perjuangan, nilai-nilai baru postmodernisme.

Menggarisbawahi sifat transformatif masyarakat komputerisasi yang lebih
terbuka, majemuk, plural dan demokratis, Lyotard selanjutnya menyatakan
bahwa kebenaran yang dibawa oleh narasi-narasi besar (Grand Narratives)
modernisme sebagai metanarasi kini telah kehilangan legitimasinya. Hal
ini karena dalam masyarakat kontemporer, sumber pengetahuan dan kebenaran
pengetahuan tidak lagi tunggal. Realitas kontemporer tidak lagi homolog
(homo: satu, dan logi: tertib nalar), melainkan paralog (para: beragam, dan
logi: tertib nalar) (Awuy, 1995: 161). Pengetahuan dan kebenaran kini
menyebar dan plural. Konsekuensinya, prinsip legitimasi modernisme harus
dibongkar dengan prinsip delegitimasi. Dengan delegitimasi, berarti diakui
adanya berbagai unsur realitas yang memiliki logikanya sendiri. Dengan
delegitimasi, menurut Lyotard, prinsip lain yakni disensus menjadi lebih
bisa diterima ketimbang prinsip konsensus seperti ditawarkan Juergen
Habermas. Karena disensus adalah prinsip yang mengakui perbedaan dan
keunikan setiap unsur dalam realitas, yang memiliki logika dan hak hidupnya
sendiri.

Dengan titik perhatian yang berbeda namun sampai pada kesimpulan yang sama,
Michel Foucault, seorang filsuf poststrukturalis Perancis, mencatat
beberapa karakter khas kebudayaan postmodern. Berangkat dari Kant, Foucault
bersepakat bahwa Era Pencerahan adalah saat dimana rasio mendapatkan tempat
istimewa dalam sejarah perkembangan kebudayaan. Namun ia menolak anggapan
Kant bahwa rasio berlaku universal. Baginya rasio hanyalah salah satu cara
untuk menanggapi situasi zaman saat itu. Menurutnya terdapat tanggapan lain
terhadap Pencerahan seperti diwakili Baudelaire yaitu ironi. Ironi adalah
keberanian, yang disertai kegetiran, untuk terlibat secara aktif dengan
situasi kini dan disini, historis dan lokal (locally determined), tanpa
harus mencantolkan diri pada status-status khusus dari kebenaran-kebenaran
absolut, di luar diri manusia, baik atas nama Tuhan, logos, atau yang
lainnya. Ironi juga berarti menjalani kehidupan tanpa dibebani oleh prinsip
baku, yang sudah terpatok sebelumnya (Ahmad Sahal, 1994: 16). Dengan ironi,
Foucault menerima keyakinan bahwa sejarah modernitas bukanlah sejarah
tunggal, dengan narasi besar yang monolog: rasionalitas. Lebih jauh ia
menyingkapkan bahwa narasi-narasi besar modernisme hanyalah mistifikasi
yang bersifat ideologis dan semu. Ia misalnya, menolak pandangan para
filsuf Pencerahan yang mengatakan bahwa manusia adalah subjek otonom,
mandiri dan mampu menentukan dirinya sendiri. Sebaliknya menurut Foucault,
manusia modern sebagai subjek ataupun objek sebenarnya tidak lebih dari
individu yang lahir dan diciptakan oleh multiplisitas kekuasaan melalui
disiplin, normalisasi dan regulasi, pengakuan dan penguasaan diri (Ahmad
Sahal, 1994: 16-17). Kekuasaan dalam pandangan Foucault ini berbeda sama
sekali dengan yang dipahami oleh kaum Weberian dan Marxian. Bagi kaum
Weberian, kekuasaan adalah kemampuan subjektif untuk mempengaruhi orang
lain. Sementara bagi kaum Marxian, kekuasaan adalah artefak material yang
bisa dikuasai dan digunakan untuk mendominasi dan menekan kelas lain.
Menurut Foucault, kekuasaan bukanlah kekuatan, institusi atau struktur yang
bersifat menundukkan. Kekuasaan adalah label nominal bagi relasi strategis
yang kompleks dalam masyarakat. Ia menyebar dan hadir di mana-mana,
dimiliki oleh siapa saja. Untuk itu, ketimbang berusaha mengimami gagasan
besar yang cenderung manipulatif, Foucault lebih memilih untuk menyibuki
persoalan-persoalan kecil dan lokal yang seringkali tak jamak dibicarakan.
Tema-tema seperti rumah sakit, penjara, barak-barak tentara, sekolah,
pabrik, pasien, seks, orang gila dan para kriminal menjadi titik perhatian
utama selama karir kefilsafatannya. Dengan upaya ini, Foucault memberikan
dua sumbangan besar terhadap postmodernisme. Pertama, keberhasilannya
menyingkap mitos-mitos modernisme yang menampilkan dirinya sebagai
kebenaran absolut, yang universal, namun sebenarnya palsu. Kedua,
pemihakannya terhadap persoalan-persoalan yang selama ini ditindas oleh
rasionalitas modern, tersisih, marjinal dan dikucilkan agar lebih didengar
dan diperhatikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar