Rabu, 12 November 2014

PENGERTIAN ETIKA POLITIK DAN ANALISIS KEBIJAKAN KENAIKAN BBM (KONTRA)

Nama/NPM     : Tehrizka Tambihan /37412336
Kelas                : 3ID04
Tugas               : Kewarganegaraan
UNIVERSITA GUNADARMA 

PEMBAHASAN


  
1.1  Etika Politik
Etika politik merupakan sebuah cabang dalam ilmu etika yang membahas hakikat manusia sebagai makhluk yang berpolitik dan dasar-dasar norma yang dipakai dalam kegiatan politik. Etika politik sangat penting karena mempertanyakan hakikat manusia sebagai makhluk sosial dan mempertanyakan atas dasar apa sebuah norma digunakan untuk mengontrol perilaku politik. Etika politik menelusuri batas-batas ilmu politik, kajian ideologi, asas-asas dalam ilmu hukum, peraturan-peraturan ketatanegaraan, asumsi-asumsi, dan postulat-postulat tentang masyarakat dan kondisi psikologis manusia sampai ke titik terdalam dari manusia melalui pengamatan terhadap perilaku, sikap, keputusan, aksi, dan kebijakan politik. Etika politik tidak menerima begitu saja sebuah norma yang melegitimasi kebijakan-kebijakan yang melanggar konsep nilai intersubjektif (dan sekaligus nilai objektif juga) hasil kesepakatan awal. Jadi, tugas utama etika politik sebagai metode kritis adalah memeriksa legitimasi ideologi yang dipakai oleh kekuasaan dalam menjalankan wewenangnya. Namun demikian, bukan berarti bahwa etika politik hanya dapat digunakan sebagai alat kritik. Etika politik harus pula dikritisi. Oleh karena itu, etika politik harus terbuka terhadap kritik dan ilmu-ilmu terapan.
Etika politik bukanlah sebuah norma. Etika politik juga bukan sebuah aliran filsafat atau ideologi, sehingga tidak dapat dijadikan sebuah pedoman siap pakai dalam pengambilan kebijakan atau tindakan politis. Etika politik tidak dapat mengontrol seorang politikus dalam bertindak atau mengambil keputusan, baik keputusan individu, organisasi, atau kelompok. Namun, etika politik dapat dijadikan rambu-rambu yang membantu politikus dalam mengambil keputusan.
Fungsi etika politik dalam masyarakat terbatas pada penyediaan alat-alat teoritis untuk mempertanyakan serta menjelaskan legitimasi politik secara bertanggung jawab. Jadi, tidak berdasarkan emosi, prasangka dan apriori, melainkan secara rasional objektif dan argumentative. Etika politik tidak langsung mencampuri politik praktis. Tugas etika politik membantu agar  pembahasan masalah-masalah ideologis dapat dijalankan secara objektif.
Hukum dan kekuasaan Negara merupakan pembahasan utama etika politik. Hukum sebagai lembaga penata masyarakat yang normatif, kekuasaan Negara sebagai lembaga penata masyarakat yang efektif sesuai dengan struktur ganda kemampuan manusia (makhluk individu dan sosial). Pokok permasalahan etika politik adalah legitimasi etis kekuasaan. Sehingga penguasa memiliki kekuasaan dan masyarakat berhak untuk menuntut pertanggung jawaban. Legitimasi etis mempersoalkan keabsahan kekuasaan politik dari segi norma-norma moral. Legitimasi ini muncul dalam konteks bahwa setiap tindakan Negara baik legislatif maupun eksekutif dapat dipertanyakan dari segi norma-norma moral. Moralitas kekuasaan lebih banyak ditentukan oleh nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat.  
1.2   Pengertian Nilai, Norma dan Moral
Berbicara mengenai etika politik kita juga perlu mengetahui tentang apa yang disebut dengan nilai, norma dan moral.
 Pengertian Nilai
nilai adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok, (the believed capacity of any object to statistfy a human desire). Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek itu sendiri. Nilai itu sebenarnya adalah suatu kenyataan yang “tersembunyi” di balik kenyataan-kenyataan lainnya. Ada nilai itu karena adanya kenyataan-kenyataan lain sebagai pembawa nilai (wartrager).
Menilai berarti menimbang untuk selanjutnya mengambil keputusan. Keputusan nilai yang diambil berhubungan dengan subjek penilai itu sendiri dimana dalam hal ini adalah manusia yang meliputi unsur-unsur jasmani, akal, rasa, karsa (kehendak) dan kepercayaan. Sesuatu dikatakan bernilai apabila sesuatu  itu berharga, berguna, benar, indah, baik dan lain sebagainya. Di dalam nilai itu sendiri terkandung cita-cita, harapan-harapan, dambaan-dambaan dan keharusan. Maka apabila kita berbicara tentang nilai, sebenarnya kita berbicara tentang hal yang ideal, tentang hal yang merupakan cita-cita, harapan, dambaan dan keharusan. Berbicara tentang nilai berarti kita masuk bidang makna normatif, bukan kognitif, kita masuk ke dunia ideal dan bukan dunia real. Meskipun demikian, diantara keduannya saling berkait secara erat, artinya yang ideal harus menjadi real, yang normatif harus direalisasikan dalam perbuatan sehari-hari yang merupakan fakta.
Max Sceler mengelompokkan nilai ke dalam empat tingkatan berdasarkan tinggi rendahnya, yakni :
a.       Nilai-nilai kenikmatan : dalam tingakatan ini terdapat deretan nilai-nilai yang mengenakkan dan tidak mengenakkan (die Wertreihe des Angenehmen und Unangehmen).
b.      Nilai-nilai kehidupan : dalam tingakatan ini terdapat nilai-nilai yang penting bagi kehidupan (Werte des vitalen Fuhlens).
c.       Nilai-nilai kejiwaan : dalam tingkatan ini terdapat nilai-nilai kejiwaan (geistige werte) yang sama sekali tidak tergantung dari keadaan jasmani maupun lingkungan.
d.      Nilai-nilai kerohanian : dalam tingakatan ini terdapat modalitas nilai dari yang suci dan tidak suci (wermodalitat des Heiligen ung Unheiligen).
Sedangkan menurut ahli yang lain yakni Notonagoro membagi nilai menjadi tiga macam, yaitu :
a.       Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi kehidupan jasmani manusia atau kebutuhan material ragawi manusia.
b.      Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas.
c.       Nilai kerokhanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Nilai kerohanian ini dapat dibedakan atas empat macam :
1)      Nilai kebenaran, yang bersumber pada akal manusia (ratio, budi, cipta).
2)      Nilai keindahan (estetis), yang bersumber pada unsur perasaan manusia (esthetis, gevoel, rasa).
3)      Nilai kebaikan (moral), yang bersumber pada unsur kehendak manusia (will, wollen, karsa).
4)      Nilai religius, yang merupakan nilai kerokhanian teringgi dan mutlak. Nilai religius ini bersumber kepada kepercayaan atau keyakinan manusia.
Dalam kaitannya dengan derivasi atau penjabarannya maka nilai-nilai dapat dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu nilai dasar, nilai instrumental dan nilai praksis.
a.       Nilai Dasar
Nilai memiliki sifat yang abstrak yang tidak dapat diamati indra manusia namun realisasinya bersifat nyata (real). Setiap nilai memiliki nilai dasar (onotologis) yang merupakan hakikat, esensi, intisari atau makna yang terdalam dari nilai-nilai tersebut dimana sifatnya adalah universal karena menyangkut hakikat kenyataan objektif segala sesuatu. Nilai dasar dapat juga disebut sebagai sumber norma yang pada gilirannya dijabarkan atau direalisasikan dalam suatu kehidupan yang bersifat praksis.  Konsekuensinya walaupun dalam aspek praksis dapat berbeda-beda namun secara sistematis tidak dapat bertentangan dengan nilai dasar yang merupakan sumber penjabaran norma serta realisasi praksis tersebut.
b.      Nilai Instrumental
Untuk dapat direalisasikan dalam suatu kehidupan praksis maka nilai dasar tersebut harus memiliki formulasi serta parameter atau ukuran yang jelas. Nilai instrumental inilah yang merupakan suatu pedoman yang dapat diukur dan dapat diarahkan. Nilai instrumental yang berkaitan dengan tingkah laku manusia merupakan suatu norma moral. Sedangkan yang berkaitan dengan organisasi maupun negara merupakan suatu arahan, kebijaksanaan atau strategi yang bersumber pada nilai dasar.  Dengan kata lain nilai instrumental merupakan suatu eksplisitasi dari nilai dasar. 
c.       Nilai Praksis
Nilai praksis pada hakikatnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai instrumental dalam suatu kehidupan yang nyata. Sehingga nilai praksis ini merupakan perwujudan dari nilai instrumental itu sendiri. Dapat juga dimungkinkan berbeda-beda wujudnya, namun demikian tidak bisa menyimpang atau bahkan tidak dapat bertentangan. Artinya oleh karena nilai dasar, nilai instrumental dan nilai praksis itu merupakan suatu sistem perwujudannya tidak boleh menyimpang dari sitem tersebut.
     Pengertian Norma
Norma adalah struktur nilai yang menjadi pedoman penilaian tingkah laku manusia yang harus dijalankan dalam kehidupan sehari-hari yang didasarkan atas suatu motivasi tertentu. Nilai yang menjadi milik bersama didalam satu masyarakat dan telah tertanam dengan emosi yang mendalam akan menjadi norma yang disepakati bersama. Nilai-nilai yang telah dibakukan menjadi norma itulah yang kelak menjadi acuan penilaian. Pada hakikatnya, norma merupakan perwujudan dari koeksistensi manusia sebagai makhluk sosial. Norma sendiri dibedakan menjadi empat, yaitu norma agama, norma moral, norma sosial, dan norma hukum.
     Pengertian Moral
Moral berasal dari kata Latin “Mos” yang jamaknya Mores yang berarti adat atau cara hidup. Etika dan moral hampir sama artinya, tetapi dalam pemakaian sehari-hari terdapat sedikit perbedaan. Moral atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang ada. Secara umum moral merupakan suatu ajaran ataupun wejangan, patokan, kumpulan peraturan baik lisan maupun tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik.
    Hubungan Nilai, Norma dan Moral
Nilai merupakan kualitas dari suatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Dalam kehidupan manusia nilai dijadikan landasan, alasan ataupun motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku baik disadari ataupun tidak. Nilai tidak bersifat konkrit yang dapat ditangkap indra manusia melainkan bersifat abstrak yang hanya dapat dipahami, dipikirkan, dimengerti dan dipahami oleh manusia.
Agar nilai menjadi menjadi lebih berguna dalam menuntun sikap dan tingkah laku manusia maka perlu dikonkritkan serta diformulasikan menjadi lebih objektif sehingga memudahkan menjabarkannya dalam tingkah laku secara konkrit. Wujud lebih konkrit dari nilai inilah yang disebut norma. Terdapat berbagai macam norma dimana norma hukumlah yang paling kuat karena dapat dipaksakan oleh suatu kekuasaan.
Selanjutnya nilai dan norma senantiasa berkaitan dengan moral dan etika. Istilah moral mengandung integritas dan martabat pribadi manusia. Derajat kepribadian seseorang amat ditentukan oleh moralitas yang dimilikinya. Makna moral yang terkandung dalam kepribadian seseorang itu tercermin dari sikap dan tingkah lakunya. Dalam pengertian inilah maka kita memasuki wilayah norma sebagai penuntun sikap dan tingkah laku manusia. Demikianlah hubungan yang sistematik antar nilai, norma, dan moral yang pada gilirannnya krtiga aspek tersebut terujud dalam suatu tingkah laku praksis dalam kehidupan manusia.
1.3   Peran Pancasila sebagai Sumber Etika Politik di Indonesia
Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa dan Negara yang merupakan satu kesatuan nilai yang tidak dapat dipisah-pisahkan dengan masing-masing sila-silanya. Karena jika dilihat satu persatu dari masing-masing sila itu dapat saja ditemukan dalam kehidupan berbangsa yang lainnya. Namun, makna Pancasila terletak pada nilai-nilai dari masing-masing sila sebagai satu kesatuan yang tak bias ditukar-balikan letak dan susunannya. Pancasila tidak hanya merupakan sumber derivasi peraturan perundang-undangan, melainkan juga merupakan sumber moralitas terutama dalam hubungannya dengan legitimasi kekuasaan, hukum, serta kebijakan dalam penyelenggaraan negara. Untuk memahami dan mendalami nilai nilai Pancasila dalam etika berpolitik itu semua terkandung dalam kelima sila Pancasila.
   Ketuhanan Yang Maha Esa
Sila pertama merupakan sumber nilai-nilai moral bagi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. Berdasarkan sila pertama Negara Indonesia bukanlah negarateokrasi yang mendasarkan kekuasaan negara pada legitimasi religius. Kekuasaan kepala negara tidak bersifat mutlak berdasarkan legitimasi religius melainkan berdasarkan legitimasi hukum dan demokrasi.  Walaupun Negara Indonesia tidak mendasarkan pada legitimasi religius, namun secara moralitas kehidupan negara harus sesuai dengan nilai-nilai yang berasal dari Tuhan terutama hukum serta moral dalam kehidupan negara. Oleh karena itu asas sila pertama lebih berkaitan dengan legitimasi moral.
   Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Sila kedua juga merupakan sumber nilai-nilai moralitas dalam kehidupan negara. Bangsa Indonesia sebagai bagian dari umat manusia di dunia hidup secara bersama dalam suatu wilayah tertentu, dengan suatu cita-cita serta prinsip hidup demi kesejahteraan bersama. Manusia merupakan dasar kehidupan dan penyelenggaran negara. Oleh karena itu asas-asas kemanusiaan adalah bersifat mutlak dalam kehidupan negara dan hukum. Dalam kehidupan negara kemanusiaan harus mendapatkan jaminan hukum, maka hal inilah yang diistilahkan dengan jaminan atas hak-hak dasar (asasi) manusia. Selain itu asas kemanusiaan juga harus merupakan prinsip dasar moralitas dalam penyelenggaraan negara.
  
   Persatuan Indonesia
Persatuan berati utuh dan tidak terpecah-pecah. Persatuan mengandung pengertian bersatunya bermacam-macam corak yang beraneka ragam menjadi satu kebulatan. Sila ketiga ini mencakup persatuan dalam arti ideologis, politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam. Indonesia sebagai negara plural yang memiliki beraneka ragam corak tidak terbantahkan lagi merupakan negara yang rawan konflik. Oleh karenanya diperlukan semangat persatuan sehingga tidak muncul jurang pemisah antara satu golongan dengan golongan yang lain. Dibutuhkan sikap saling menghargai dan menjunjung semangat persatuan demi keuthan negara dan kebaikan besama. Oleh karena itu sila ketiga ini juga berkaitan dengan legitimasi moral.  
   Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan
Negara adalah berasal dari rakyat dan segala kebijaksanaan dan kekuasaan yang dilakukan senantiasa untuk rakyat. Oleh karena itu rakyat merupakan asal muasal kekuasaan negara. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara segala kebijaksanaan, kekuasaan serta kewenangan harus dikembalikan kepada rakyat sebagai pendukung pokok negara. Maka dalam pelaksanaan politik praktis, hal-hal yang menyangkut kekuasaan legislatif, eksekutif serta yudikatif, konsep pengambilan keputusan, pengawasan serta partisipasi harus berdasarkan legitimasi dari rakyat, atau dengan kata lain harus memiliki “legitimasi demokratis”. 
  Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Dalam penyelenggaraan negara harus berdasarkan legitimasi hukum yaitu prinsip “legalitas”. Negara Indonesia adalah negara hukum, oleh karena itu keadilan dalam hidup bersama (keadilan sosial) merupakan tujuan dalam kehidupan negara. Dalam penyelenggaraan negara, segala kebijakan, kekuasaan, kewenangan serta pembagian senatiasa harus berdasarkan hukum yang berlaku. Pelanggaran atas prinsip-prinsip keadilan dalam kehidupan kenegaraan akan menimbulkan ketidakseimbangan dalam kehidupan negara.
Pola pikir untuk membangun kehidupan berpolitik yang murni dan jernih mutlak dilakukan sesuai dengan kelima sila yang telah dijabarkan diatas. Yang mana dalam berpolitik harus bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyarawatan/Perwakilan dan dengan penuh Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia tanpa pandang bulu. Etika politik Pancasila dapat digunakan sebagai alat untuk menelaah perilaku politik Negara, terutama sebagai metode kritis untuk memutuskan benar atau slaah sebuah kebijakan dan tindakan pemerintah dengan cara menelaah kesesuaian dan tindakan pemerintah itu dengan makna sila-sila Pancasila.
Etika politik harus direalisasikan oleh setiap individu yang ikut terlibat secara konkrit dalam pelaksanaan pemerintahan negara. Para pejabat eksekutif, legislatif, yudikatif, para pelaksana dan penegak hukum harus menyadari bahwa legitimasi hukum dan legitimasi demokratis juga harus berdasarkan pada legitimasi moral. Nilai-nilai Pancasila mutlak harus dimiliki oleh setiap penguasa yang berkuasa mengatur pemerintahan, agar tidak menyebabkan berbagai penyimpangan seperti yang sering terjadi dewasa ini. Seperti tindak pidana korupsi, kolusi dan nepotisme, penyuapan, pembunuhan, terorisme, dan penyalahgunaan narkotika sampai perselingkuhan dikalangan elit politik yang menjadi momok masyarakat.
Dalam penerapan etika politik Pancasila di Indonesia tentunya mempunyai beberapa kendala-kendala, yaitu :
a.       Etika politik terjebak menjadi sebuah ideologi sendiri. Ketika seseorang mengkritik sebuah ideologi, ia pasti akan mencari kelemahan-kelemahan dan kekurangannya, baik secara konseptual maupun praksis. Hingga muncul sebuah keyakinan bahwa etika politik menjadi satu-satunya cara yang efektif dan efisien dalam mengkritik ideologi, sehingga etika politik menjadi sebuah ideologi tersendiri.
b.      Pancasila merupakan sebuah sistem filsafat yang lebih lengkap disbanding etika politik Pancasila, sehingga kritik apa pun yang ditujukan kepada Pancasila oleh etika politik Pancasila tidak mungkin berangkat dari Pancasila sendiri karena kritik itu tidak akan membuahkan apa-apa.
Namun demikian, bukan berarti etika politik Pancasila tidak mampu menjadi alat atau cara menelaah sebuah Pancasila. Kendala pertama dapat diatasi dengan cara membuka lebar-lebar pintu etika politik Pancasila terhadap kritik dan koreksi dari manapun, sehingga ia tidak terjebak pada lingkaran itu. Kendala kedua dapat diatasi dengan menunjukkan kritik kepada tingkatan praksis Pancasila terlebih dahulu, kemudian secara bertahap merunut kepada pemahaman yang lebih umum hingga ontologi Pancasila menggunakan prinsip-prinsip norma moral.
Penerapan Etika Politik di Indonesia

Ada dasar yang fundamental dalam memfungsikan sistem politik yang memadai. 
 Beberapa saran penerapan etika politik di Indonesia, adalah sebagai berikut.

Pertama,  
membuat masyarakat menjadi kritis.   
Franklyn Haiman (1958) mensyaratkan adanya peningkatan kapasitas rasional manusia. 
Upaya persuasi seperti kampanye politik, komunikasi pemerintah, 
periklanan, dan lain-lain, adalah suatu teknik untuk memengaruhi penerima 
dengan menghilangkan proses berfikir sadarnya 
dan menanamkan sugesti atau penekanan pada kesadaran, 
agar menghasilkan perilaku otomatis yang tidak reflektif.


Seruan motivasional dan emosional juga kerap digunakan dalam mempengaruhi rasional massa. 
Pemilihan kata, kerap tidak mempertimbangkan rasa keadilan. 
Habermas (1967) mengatakan bahwa bahasa juga merupakan sarana dominasi dan kekuasaan. 

Monopoli pada pilihan kata, terutama karena akses ruang publik lebih terbuka pada politisi, 
menimbulkan peluang penyimpangan kepentingan.


Upaya penggerakan logika instant ini tidak etis. 
Intinya, seorang politisi yang berusaha diterima pandangannya secara tidak kritis, 
dia juga dapat dipandang sebagai pelanggar etika politik yang ideal. 

Jadi manusia harus diajar berfikir, menganalisa dan mengevaluasi informasi dengan rasio dan mampu mengontrol emosinya. 
Dengan demikian dapat menghasilkan suatu pemikiran terbaik dengan analisa kritis.

Kedua,  
mengembangkan kebiasaan meneliti. 

Semua pihak: masyarakat (melalui LSM), media massa, perguruan tinggi, politisi atau penguasa, 
sebaiknya mengembangkan kebiasaan meneliti. 
Peningkatan rasionalitas pada masyarakat selayaknya dibarengi 
dengan kemauan politisi dalam bersikap adil ketika memilih 
dan menampilkan fakta dan data secara terbuka.


Pengetahuan tentang realitas sebaiknya mencerminkan kenyataan real yang dibutuhkan. 
Informasi yang ditampilkan adalah informasi yang paling relevan 
dan selengkap mungkin memfasilitasi kemampuan rasional publik. 

Dan data yang dibutuhkan masyarakat, tidak boleh diselewengkan atau disembunyikan. 
Ketika banyak pihak terbiasa meneliti dan terekspos oleh data, 
penyelewengan data akan berkurang. 

Keterbukaan akses informasi ini, memfasilitasi masyarakat, mengamati politisi dalam membuat keputusan yang akurat. 

Bagi politisi sendiri, 
ada baiknya mempertimbangkan peringatan Wallace untuk menanyakan hal ini pada diri sendiri, 
Ketiga
kepentingan umum daripada pribadi atau golongan.
Politisi hendaknya mengembangkan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi atau golongan. 
Pertanyaan yang dapat diangkat adalah: 
”Apakah saya melupakan amanah yang telah diberikan oleh khalayak pada saya?” 
Ajakan suci ini memang membutuhkan gerakan hati dari politisi. 
Dan hati adalah ranah personal dari seorang individu. 

Namun, masyarakat memiliki hak sebagai eksekutor. 
Ada atau tidak adanya politisi tersebut duduk di singasana politik. 
Meski butuh waktu lima tahunan.
Keempat,
menghormati perbedaan 
Etika politik juga dapat dilaksanakan dengan menghormati perbedaan pendapat dan argumen. 
Meski diperlukan adanya kerjasama dan kompromi, 
nilai dasar hati nurani, perlu menjadi batasan pembuatan kebijakan.
Menurut Wallace, 
”Kita tidak perlu mengorbankan prinsip demi kompromi. 
Kita harus lebih suka menghadapi konflik daripada menerima penentraman” 
Karena secara budaya, Indonesia adalah negara kolektifis yang kerap mementingkan harmonisasi.

Bagi masyarakat, 
keaktifan dalam berekspresi dan mengungkapkan pendapat 
sebaiknya disambut dengan lebih aktif memanfaatkan ruang publik yang tersedia. 

Bagi politisi, ada baiknya memperhatikan pertanyaan Wallace ini: 

”Bisakah saya dengan bebas mengakui kekuatan dan bukti 
serta argumen yang bertentangan dan masih mengajukan sebuah pendapat 
yang menampilkan keyakinan saya?”





Kelima, 
penerapan hukum. 
Penerapan etika politik sebaiknya didasari hukum. 
Masyarakat terdiri dari kelompok-kelompok yang mungkin sekali mempunyai kepentingan berlawanan. 

Politisi, dibantu oleh pengawasan masyarakat, 
sebaiknya mampu memfasilitasi dan mengatur kepentingan-kepentingan kelompok 
dengan membangun institusi-institusi yang adil.


Pengeksklusifan pada suatu kelompok dapat membuahkan keberuntungan 
bagi yang satu dan kemalangan bagi yang lain. 

Pengelolaan hukum dengan prosedur yang baik, 
dapat mengontrol dan menghindarkan semaksimal mungkin penyalahgunaan. 
Keadilan tidak diserahkan kepada politisi, 
tapi dipercayakan kepada prosedur yang memungkinkan pembentukan sistem hukum 
yang menjamin pelaksanaan keadilan. 

Jadi ketika politisi melakukan pelanggaran, prosedur hukum secara otomatis dan transparan, 
dapat diberlakukan pada politisi, tanpa adanya rekayasa

Keenam, 
mengurangi privasi. 
Salah satu upaya pelaksanaan etika politik, 
menurut Dennis F Thompson (1987), adalah dengan mengurangi privasi pejabat negara. 
Menurutnya, para pejabat sesungguhnya bukan warga negara biasa. 
Mereka memiliki kekuasaan atas warga negara, 
dan bagaimanapun, mereka merupakan representasi dari warga negara. 

Perbedaan-perbedaan signifikan antara pejabat negara dan warga negara 
membuat berkurangnya wilayah kehidupan pribadi (privacy) para pejabat negara. 

Karenanya, privacy pejabat negara tidak harus dijaga, 
bila perlu dikorbankan untuk menjaga keutuhan demokrasi dan menjaga kepercayaan warga negara. 

Kebijakan-kebijakan politik yang diambil, sebesar dan atau seluas apa pun, sedikit banyak, berpengaruh bagi kehidupan warga negara.


Jadi layaklah bila masyarakat tahu secara detail, mengenai kehidupan pejabat-pejabat negara. 
Pengetahuan tersebut merupakan bagian dari garansi dan kontrol publik 
yang membuat warga negara menaruh kepercayaan pada pejabat negara yang telah dipilihnya. 
Warga negara harus punya keyakinan bahwa pejabat negara yang dipilihnya 
benar-benar memiliki fisik yang sehat dan pribadi yang jujur. 
Meski orang mungkin berubah, 
namun perlu ada jaminan awal bahwa politisi tersebut berpotensi 
untuk tidak mempergunakan kekuasaan dan kewenangan 
untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompoknya.
Ketujuh, 
beriman. 
Penerapan etika politik dapat berjalan dengan mulus, 
bila semua pihak menyandarkan keyakinan pada agama. 

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, hendaklah menjadi jiwa dalam kehidupan tiap individu. 
Etika dan moral politisi akan rusak ketika tidak dihubungkannya agama dengan politik. 
Padahal, keduanya adalah satu kesatuan integral bagai jiwa dan raga.
Iman, adalah percaya pada Tuhan.  
Bila politisi mempercayakan diri pada Tuhan sebagai pemilik dirinya, 
tempat kembalinya, pengatur manusia, pemberi amanah, 
penguasa keputusan hidup dan tempat berawal dan berakhirnya segala sesuatu, 

Kedelapan, 
terbukanya ruang publik. 

Perlu diperbanyak ruang publik yang memberi kesempatan politisi dan masyarakat 
saling berkomunikasi. 

Wadah seperti the Fatwa Center (tFC) ini, 
adalah salah satu upaya real menyediakan akses bagi interaksi tadi. 

Terbukanya kesempatan berbagi antartokoh, politisi, media, akademisi, birokrat, 
mahasiswa dan masyarakat lainnya memberi penyegaran-penyegaran edukatif pada semua pihak. 

Selain itu mengurangi prasangka atau peluang terjadinya pelanggaran etika politik.
Wadah seperti The Fatwa Center juga diharapkan: 
1) dapat memberi ruang terbuka pada peningkatan rasional dan daya kritis publik. 
2) mempersiapkan calon politisi untuk menjadi politisi beretika, 
3) mengingatkan politisi untuk beretika.
Semua pihak akan diuntungkan. 
Politisi yang beretika, diuntungkan dengan adanya masyarakat yang terdidik. 
Masyarakat juga diuntungkan, dengan politisi yang beretika. 
Pada masyarakat yang tidak terpelajar, maka politisi yang tidak beretika masih tetap ada. 
Ongkos sosial juga tinggi, 
diantaranya: banyaknya intrik, 
masyarakat dikorbankan, kemajuan Indonesia juga tidak signifikan.
ANALISIS  KEBIJAKAN KENAIKAN BBM (Kontra)
kontra terhadap kenaikan BBM mulai dari anggota DPR, DPRD, kalangan mahasiswa dari berbagai universitas, petani, nelayan, angkutan umum dan masih banyak lagi mereka semua menolak kenaikan harga BBM. Diantara yang pro dan kontra terhadap kebijakan kenaikan harga BBM tersebut terdapat kelompok yang abstain. Mereka ini tidak ikut demo, pasrah, harga BBM tidak naik syukur, kalau BBM naik monggo kerso. Mereka juga sebenarnya berharap harga BBM tetap, karena dengan kenaikan BBM akan mengakibatkan tambahan pengeluaran mereka sehari-hari, tetapi tetap menerima.

Sudah jelas pemerintah dengan perangkatnya beserta jajarannya akan mendukung kenaikan harga BBM bersubsidi karena gaji mereka dibayar dari APBN dan mereka pula yang menerbitkan kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi untuk menyelamatkan APBN. Selama APBN aman, gaji mereka tetap aman. Namun bukan alasan itu yang menjadi dasar kebijakan kenaikan harga BBM. Kebijakan itu dikeluarkan setelah melalui kajian dan berbagai pertimbangan yang masak serta dengan memperhitungkan dampak positif dan negatifnya yang memang pada akhirnya kenaikan harga BBM lah yang dianggap paling tepat untuk dilakukan. Tujuannya bukan hanya untuk menyelamatkan APBN, tapi juga untuk menyelamatkan penyelenggaraan kegiatan negara lainnya seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, sosial, ekonomi dan lainnya. Bahkan Kadin ikut menganjurkan agar pemerintah menaikkan harga BBM untuk memberikan kepastian bagi dunia usaha. Dari kalangan masyarakat yang setuju dengan kenaikan BBM antara lain diperoleh pendapat bahwa harga BBM wajar naik karena harga minyak mentah yang merupakan bahan pokoknya juga meningkat. Pendapat lain mengatakan harga BBM perlu naik agar masyarakat berhemat dan efisien dalam menggunakan BBM. Sementara seorang PNS mengatakan bahwa ia setuju harga BBM naik, karena mengurangi subsidi untuk BBM yang akan terbuang percuma, lebih baik dana subsidi digunakan untuk kesehatan atau pendidikan. Pendapat yang lebih ekstreem berpendapat bahwa sebaiknya subsidi sebaiknya dihapus, dananya dialihkan untuk BLT dan harga BBM disesuaikan dengan harga pasar.

Dari kalangan yang kontra atau tidak setuju terhadap kenaikan harga BBM, diantaranya adalah sebagian anggota DPR. Ada yang mengatakan bahwa kebijakan kenaikan harga BBM kurang tepat untuk saat ini, karena akan menambah beban rakyat yang sedang menghadapi berbagai tekanan ekonomi seperti kenaikan harga pangan. Beberapa alasan yang dikemukakan dari kalangan ibu rumah tangga, petani, mahasiswa, elite politik, LSM maupun kalangan masyarakat lainnya yang tidak setuju terhadap adanya kenaikan harga BBM bersubsidi antara lain :
  1. akan mengakibatkan efek berantai terhadap harga kebutuhan pokok rakyat,

  1. pemerintah terlalu terburu-buru menerbitkan kebijakan,

  1. pemerintah malas dan hanya mencari jalan pintas,

  1. akan mengakibatkan semakin meluasnya masalah kemiskinan,

  1. dapat memicu konflik sosial dalam masyarakat,

  1. memperparah masalah pengangguran,

  1. akan memicu kenaikan harga barang lainnya, biaya transportasi dan inflasi

Kelompok masyarakat yang netral atau abstain terhadap kenaikan harga BBM punya alasan tersendiri. Mereka lebih banyak diam menunggu perkembangan dan tampaknya lebih mencari aman. Kelompok ini sebagian besar berasal dari warga kelas menengah dan warga keturunan serta sebagian masyarakat terpelajar baik kelas atas, menengah maupun bawah yang nrimo apapun kebijakan yang diambil pemerintah selama hak mereka tidak berkurang. Seorang PNS mengatakan bahwa kalau harga BBM naik kasihan para tukang ojek harus menambah biaya, namun kalau tidak naik APBN kita payah, jadi terserah pemerintah saja, katanya. Beberapa alasan lain yang dapat diperoleh dari kelompok yang abstain ini antara lain :

  1. ibarat buah simalakama,

  1. percuma ikut demo penolakan kenaikan BBM, toh akhirnya naik juga,

  1. serahkan kepada pemerintah, pemerintah yg lebih mengetahui situasinya,

  1. lebih senang kalau harga BBM tidak naik, tapi kalau pemerintah maunya naik mau bilang apa  












DAFTAR PUSTAKA



http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/Pancasila%20dan%20UUD%201945.pdf
Mainur Pasaribu., Filsafat dan Pendidikan Pancasila . Jakarta, Yatama Printing, 2012.
Bagus Lorens, Kamus Filsafat . Jakarta, Gramedia, 1996.
 Kaelan. 2008. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta
Notonegoro. 1985. Beberapa hal Mengenai Filsafat Pancasila. Yogyakarta





Tidak ada komentar:

Posting Komentar