Nama/NPM : Tehrizka Tambihan /37412336
Kelas : 3ID04
Tugas : Kewarganegaraan
UNIVERSITA GUNADARMA
PEMBAHASAN
1.1 Etika Politik
Etika politik
merupakan sebuah cabang dalam ilmu etika yang membahas hakikat manusia sebagai
makhluk yang berpolitik dan dasar-dasar norma yang dipakai dalam kegiatan
politik. Etika politik sangat penting karena mempertanyakan hakikat manusia
sebagai makhluk sosial dan mempertanyakan atas dasar apa sebuah norma digunakan
untuk mengontrol perilaku politik. Etika politik menelusuri batas-batas ilmu
politik, kajian ideologi, asas-asas dalam ilmu hukum, peraturan-peraturan
ketatanegaraan, asumsi-asumsi, dan postulat-postulat tentang masyarakat dan
kondisi psikologis manusia sampai ke titik terdalam dari manusia melalui
pengamatan terhadap perilaku, sikap, keputusan, aksi, dan kebijakan politik.
Etika politik tidak menerima begitu saja sebuah norma yang melegitimasi
kebijakan-kebijakan yang melanggar konsep nilai intersubjektif (dan sekaligus
nilai objektif juga) hasil kesepakatan awal. Jadi, tugas utama etika politik
sebagai metode kritis adalah memeriksa legitimasi ideologi yang dipakai oleh
kekuasaan dalam menjalankan wewenangnya. Namun demikian, bukan berarti bahwa
etika politik hanya dapat digunakan sebagai alat kritik. Etika politik harus
pula dikritisi. Oleh karena itu, etika politik harus terbuka terhadap kritik
dan ilmu-ilmu terapan.
Etika politik
bukanlah sebuah norma. Etika politik juga bukan sebuah aliran filsafat atau
ideologi, sehingga tidak dapat dijadikan sebuah pedoman siap pakai dalam
pengambilan kebijakan atau tindakan politis. Etika politik tidak dapat
mengontrol seorang politikus dalam bertindak atau mengambil keputusan, baik
keputusan individu, organisasi, atau kelompok. Namun, etika politik dapat
dijadikan rambu-rambu yang membantu politikus dalam mengambil keputusan.
Fungsi etika politik
dalam masyarakat terbatas pada penyediaan alat-alat teoritis untuk
mempertanyakan serta menjelaskan legitimasi politik secara bertanggung jawab.
Jadi, tidak berdasarkan emosi, prasangka dan apriori, melainkan secara rasional
objektif dan argumentative. Etika politik tidak langsung mencampuri politik
praktis. Tugas etika politik membantu agar pembahasan
masalah-masalah ideologis dapat dijalankan secara objektif.
Hukum dan kekuasaan
Negara merupakan pembahasan utama etika politik. Hukum sebagai lembaga penata
masyarakat yang normatif, kekuasaan Negara sebagai lembaga penata masyarakat
yang efektif sesuai dengan struktur ganda kemampuan manusia (makhluk individu
dan sosial). Pokok permasalahan etika politik adalah legitimasi etis kekuasaan.
Sehingga penguasa memiliki kekuasaan dan masyarakat berhak untuk menuntut
pertanggung jawaban. Legitimasi etis mempersoalkan keabsahan kekuasaan politik
dari segi norma-norma moral. Legitimasi ini muncul dalam konteks bahwa setiap tindakan
Negara baik legislatif maupun eksekutif dapat dipertanyakan dari segi
norma-norma moral. Moralitas kekuasaan lebih banyak ditentukan oleh nilai-nilai
yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat.
1.2 Pengertian Nilai, Norma dan Moral
Berbicara mengenai
etika politik kita juga perlu mengetahui tentang apa yang disebut dengan nilai,
norma dan moral.
Pengertian Nilai
nilai adalah
kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia.
Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok,
(the believed capacity of any object to statistfy a human desire). Jadi
nilai itu pada hakikatnya adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu
objek itu sendiri. Nilai itu sebenarnya adalah suatu kenyataan yang “tersembunyi”
di balik kenyataan-kenyataan lainnya. Ada nilai itu karena adanya
kenyataan-kenyataan lain sebagai pembawa nilai (wartrager).
Menilai berarti
menimbang untuk selanjutnya mengambil keputusan. Keputusan nilai yang diambil
berhubungan dengan subjek penilai itu sendiri dimana dalam hal ini adalah
manusia yang meliputi unsur-unsur jasmani, akal, rasa, karsa (kehendak) dan
kepercayaan. Sesuatu dikatakan bernilai apabila sesuatu itu
berharga, berguna, benar, indah, baik dan lain sebagainya. Di dalam nilai itu
sendiri terkandung cita-cita, harapan-harapan, dambaan-dambaan dan keharusan.
Maka apabila kita berbicara tentang nilai, sebenarnya kita berbicara tentang
hal yang ideal, tentang hal yang merupakan cita-cita, harapan, dambaan dan
keharusan. Berbicara tentang nilai berarti kita masuk bidang makna normatif,
bukan kognitif, kita masuk ke dunia ideal dan bukan dunia real. Meskipun
demikian, diantara keduannya saling berkait secara erat, artinya yang ideal
harus menjadi real, yang normatif harus direalisasikan dalam perbuatan
sehari-hari yang merupakan fakta.
Max Sceler
mengelompokkan nilai ke dalam empat tingkatan berdasarkan tinggi rendahnya,
yakni :
a. Nilai-nilai
kenikmatan : dalam tingakatan ini terdapat deretan nilai-nilai yang mengenakkan
dan tidak mengenakkan (die Wertreihe des Angenehmen und Unangehmen).
b. Nilai-nilai
kehidupan : dalam tingakatan ini terdapat nilai-nilai yang penting bagi
kehidupan (Werte des vitalen Fuhlens).
c. Nilai-nilai
kejiwaan : dalam tingkatan ini terdapat nilai-nilai kejiwaan (geistige werte)
yang sama sekali tidak tergantung dari keadaan jasmani maupun lingkungan.
d. Nilai-nilai
kerohanian : dalam tingakatan ini terdapat modalitas nilai dari yang suci dan
tidak suci (wermodalitat des Heiligen ung Unheiligen).
Sedangkan menurut
ahli yang lain yakni Notonagoro membagi nilai menjadi tiga macam, yaitu :
a. Nilai
material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi kehidupan jasmani manusia atau
kebutuhan material ragawi manusia.
b. Nilai vital,
yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan
atau aktivitas.
c. Nilai
kerokhanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Nilai
kerohanian ini dapat dibedakan atas empat macam :
1) Nilai kebenaran,
yang bersumber pada akal manusia (ratio, budi, cipta).
2) Nilai keindahan
(estetis), yang bersumber pada unsur perasaan manusia (esthetis, gevoel, rasa).
3) Nilai kebaikan
(moral), yang bersumber pada unsur kehendak manusia (will, wollen, karsa).
4) Nilai religius,
yang merupakan nilai kerokhanian teringgi dan mutlak. Nilai religius ini
bersumber kepada kepercayaan atau keyakinan manusia.
Dalam kaitannya
dengan derivasi atau penjabarannya maka nilai-nilai dapat dikelompokkan menjadi
tiga macam yaitu nilai dasar, nilai instrumental dan nilai praksis.
a. Nilai
Dasar
Nilai memiliki sifat
yang abstrak yang tidak dapat diamati indra manusia namun realisasinya bersifat
nyata (real). Setiap nilai memiliki nilai dasar (onotologis) yang
merupakan hakikat, esensi, intisari atau makna yang terdalam dari nilai-nilai
tersebut dimana sifatnya adalah universal karena menyangkut hakikat kenyataan
objektif segala sesuatu. Nilai dasar dapat juga disebut sebagai sumber norma
yang pada gilirannya dijabarkan atau direalisasikan dalam suatu kehidupan yang
bersifat praksis. Konsekuensinya walaupun dalam aspek praksis dapat
berbeda-beda namun secara sistematis tidak dapat bertentangan dengan nilai
dasar yang merupakan sumber penjabaran norma serta realisasi praksis tersebut.
b. Nilai
Instrumental
Untuk dapat
direalisasikan dalam suatu kehidupan praksis maka nilai dasar tersebut harus
memiliki formulasi serta parameter atau ukuran yang jelas. Nilai instrumental
inilah yang merupakan suatu pedoman yang dapat diukur dan dapat diarahkan.
Nilai instrumental yang berkaitan dengan tingkah laku manusia merupakan suatu
norma moral. Sedangkan yang berkaitan dengan organisasi maupun negara merupakan
suatu arahan, kebijaksanaan atau strategi yang bersumber pada nilai dasar. Dengan
kata lain nilai instrumental merupakan suatu eksplisitasi dari nilai
dasar.
c. Nilai
Praksis
Nilai praksis pada
hakikatnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai instrumental dalam
suatu kehidupan yang nyata. Sehingga nilai praksis ini merupakan perwujudan
dari nilai instrumental itu sendiri. Dapat juga dimungkinkan berbeda-beda
wujudnya, namun demikian tidak bisa menyimpang atau bahkan tidak dapat
bertentangan. Artinya oleh karena nilai dasar, nilai instrumental dan nilai
praksis itu merupakan suatu sistem perwujudannya tidak boleh menyimpang dari
sitem tersebut.
Pengertian Norma
Norma adalah struktur
nilai yang menjadi pedoman penilaian tingkah laku manusia yang harus dijalankan
dalam kehidupan sehari-hari yang didasarkan atas suatu motivasi tertentu. Nilai
yang menjadi milik bersama didalam satu masyarakat dan telah tertanam dengan
emosi yang mendalam akan menjadi norma yang disepakati bersama. Nilai-nilai
yang telah dibakukan menjadi norma itulah yang kelak menjadi acuan penilaian.
Pada hakikatnya, norma merupakan perwujudan dari koeksistensi manusia sebagai
makhluk sosial. Norma sendiri dibedakan menjadi empat, yaitu norma agama, norma
moral, norma sosial, dan norma hukum.
Pengertian Moral
Moral berasal dari
kata Latin “Mos” yang jamaknya Mores yang berarti adat
atau cara hidup. Etika dan moral hampir sama artinya, tetapi dalam pemakaian
sehari-hari terdapat sedikit perbedaan. Moral atau moralitas dipakai untuk
perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian sistem
nilai-nilai yang ada. Secara umum moral merupakan suatu ajaran ataupun
wejangan, patokan, kumpulan peraturan baik lisan maupun tertulis tentang
bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik.
Hubungan Nilai, Norma dan
Moral
Nilai merupakan
kualitas dari suatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun
batin. Dalam kehidupan manusia nilai dijadikan landasan, alasan ataupun
motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku baik disadari ataupun tidak. Nilai
tidak bersifat konkrit yang dapat ditangkap indra manusia melainkan bersifat
abstrak yang hanya dapat dipahami, dipikirkan, dimengerti dan dipahami oleh
manusia.
Agar nilai menjadi
menjadi lebih berguna dalam menuntun sikap dan tingkah laku manusia maka perlu
dikonkritkan serta diformulasikan menjadi lebih objektif sehingga memudahkan
menjabarkannya dalam tingkah laku secara konkrit. Wujud lebih konkrit dari
nilai inilah yang disebut norma. Terdapat berbagai macam norma dimana norma
hukumlah yang paling kuat karena dapat dipaksakan oleh suatu kekuasaan.
Selanjutnya nilai dan
norma senantiasa berkaitan dengan moral dan etika. Istilah moral mengandung
integritas dan martabat pribadi manusia. Derajat kepribadian seseorang amat
ditentukan oleh moralitas yang dimilikinya. Makna moral yang terkandung dalam
kepribadian seseorang itu tercermin dari sikap dan tingkah lakunya. Dalam
pengertian inilah maka kita memasuki wilayah norma sebagai penuntun sikap dan
tingkah laku manusia. Demikianlah hubungan yang sistematik antar nilai, norma,
dan moral yang pada gilirannnya krtiga aspek tersebut terujud dalam suatu
tingkah laku praksis dalam kehidupan manusia.
1.3 Peran Pancasila sebagai Sumber Etika Politik
di Indonesia
Pancasila sebagai
dasar falsafah bangsa dan Negara yang merupakan satu kesatuan nilai yang tidak
dapat dipisah-pisahkan dengan masing-masing sila-silanya. Karena jika dilihat
satu persatu dari masing-masing sila itu dapat saja ditemukan dalam kehidupan
berbangsa yang lainnya. Namun, makna Pancasila terletak pada nilai-nilai dari
masing-masing sila sebagai satu kesatuan yang tak bias ditukar-balikan letak
dan susunannya. Pancasila tidak hanya merupakan sumber derivasi peraturan
perundang-undangan, melainkan juga merupakan sumber moralitas terutama dalam
hubungannya dengan legitimasi kekuasaan, hukum, serta kebijakan dalam
penyelenggaraan negara. Untuk memahami dan mendalami nilai nilai Pancasila
dalam etika berpolitik itu semua terkandung dalam kelima sila Pancasila.
Ketuhanan Yang Maha Esa
Sila pertama merupakan
sumber nilai-nilai moral bagi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. Berdasarkan
sila pertama Negara Indonesia bukanlah negarateokrasi yang
mendasarkan kekuasaan negara pada legitimasi religius. Kekuasaan kepala negara
tidak bersifat mutlak berdasarkan legitimasi religius melainkan berdasarkan
legitimasi hukum dan demokrasi. Walaupun Negara Indonesia tidak
mendasarkan pada legitimasi religius, namun secara moralitas kehidupan negara
harus sesuai dengan nilai-nilai yang berasal dari Tuhan terutama hukum serta
moral dalam kehidupan negara. Oleh karena itu asas sila pertama lebih berkaitan
dengan legitimasi moral.
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Sila kedua juga
merupakan sumber nilai-nilai moralitas dalam kehidupan negara. Bangsa Indonesia
sebagai bagian dari umat manusia di dunia hidup secara bersama dalam suatu
wilayah tertentu, dengan suatu cita-cita serta prinsip hidup demi kesejahteraan
bersama. Manusia merupakan dasar kehidupan dan penyelenggaran negara. Oleh
karena itu asas-asas kemanusiaan adalah bersifat mutlak dalam kehidupan negara
dan hukum. Dalam kehidupan negara kemanusiaan harus mendapatkan jaminan hukum,
maka hal inilah yang diistilahkan dengan jaminan atas hak-hak dasar (asasi)
manusia. Selain itu asas kemanusiaan juga harus merupakan prinsip dasar
moralitas dalam penyelenggaraan negara.
Persatuan Indonesia
Persatuan berati utuh
dan tidak terpecah-pecah. Persatuan mengandung pengertian bersatunya
bermacam-macam corak yang beraneka ragam menjadi satu kebulatan. Sila ketiga
ini mencakup persatuan dalam arti ideologis, politik, ekonomi, sosial budaya,
dan hankam. Indonesia sebagai negara plural yang memiliki beraneka ragam corak
tidak terbantahkan lagi merupakan negara yang rawan konflik. Oleh karenanya
diperlukan semangat persatuan sehingga tidak muncul jurang pemisah antara satu
golongan dengan golongan yang lain. Dibutuhkan sikap saling menghargai dan
menjunjung semangat persatuan demi keuthan negara dan kebaikan besama. Oleh
karena itu sila ketiga ini juga berkaitan dengan legitimasi moral.
Kerakyatan
yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan
Negara adalah berasal
dari rakyat dan segala kebijaksanaan dan kekuasaan yang dilakukan senantiasa
untuk rakyat. Oleh karena itu rakyat merupakan asal muasal kekuasaan negara.
Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara segala kebijaksanaan, kekuasaan
serta kewenangan harus dikembalikan kepada rakyat sebagai pendukung pokok
negara. Maka dalam pelaksanaan politik praktis, hal-hal yang menyangkut
kekuasaan legislatif, eksekutif serta yudikatif, konsep pengambilan keputusan,
pengawasan serta partisipasi harus berdasarkan legitimasi dari rakyat, atau
dengan kata lain harus memiliki “legitimasi demokratis”.
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia
Dalam penyelenggaraan
negara harus berdasarkan legitimasi hukum yaitu prinsip “legalitas”.
Negara Indonesia adalah negara hukum, oleh karena itu keadilan dalam hidup
bersama (keadilan sosial) merupakan tujuan dalam kehidupan negara. Dalam
penyelenggaraan negara, segala kebijakan, kekuasaan, kewenangan serta pembagian
senatiasa harus berdasarkan hukum yang berlaku. Pelanggaran atas
prinsip-prinsip keadilan dalam kehidupan kenegaraan akan menimbulkan
ketidakseimbangan dalam kehidupan negara.
Pola pikir untuk
membangun kehidupan berpolitik yang murni dan jernih mutlak dilakukan sesuai
dengan kelima sila yang telah dijabarkan diatas. Yang mana dalam berpolitik
harus bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,
Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyarawatan/Perwakilan dan dengan penuh Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia tanpa pandang bulu. Etika politik Pancasila dapat digunakan sebagai
alat untuk menelaah perilaku politik Negara, terutama sebagai metode kritis
untuk memutuskan benar atau slaah sebuah kebijakan dan tindakan pemerintah
dengan cara menelaah kesesuaian dan tindakan pemerintah itu dengan makna
sila-sila Pancasila.
Etika politik harus
direalisasikan oleh setiap individu yang ikut terlibat secara konkrit dalam
pelaksanaan pemerintahan negara. Para pejabat eksekutif,
legislatif, yudikatif, para pelaksana dan penegak hukum harus menyadari
bahwa legitimasi hukum dan legitimasi demokratis juga harus berdasarkan pada
legitimasi moral. Nilai-nilai Pancasila mutlak harus dimiliki oleh setiap
penguasa yang berkuasa mengatur pemerintahan, agar tidak menyebabkan berbagai
penyimpangan seperti yang sering terjadi dewasa ini. Seperti tindak pidana
korupsi, kolusi dan nepotisme, penyuapan, pembunuhan, terorisme, dan
penyalahgunaan narkotika sampai perselingkuhan dikalangan elit politik yang
menjadi momok masyarakat.
Dalam penerapan etika
politik Pancasila di Indonesia tentunya mempunyai beberapa kendala-kendala,
yaitu :
a. Etika
politik terjebak menjadi sebuah ideologi sendiri. Ketika seseorang mengkritik
sebuah ideologi, ia pasti akan mencari kelemahan-kelemahan dan kekurangannya,
baik secara konseptual maupun praksis. Hingga muncul sebuah keyakinan bahwa
etika politik menjadi satu-satunya cara yang efektif dan efisien dalam
mengkritik ideologi, sehingga etika politik menjadi sebuah ideologi tersendiri.
b. Pancasila
merupakan sebuah sistem filsafat yang lebih lengkap disbanding etika politik
Pancasila, sehingga kritik apa pun yang ditujukan kepada Pancasila oleh etika
politik Pancasila tidak mungkin berangkat dari Pancasila sendiri karena kritik
itu tidak akan membuahkan apa-apa.
Namun demikian, bukan
berarti etika politik Pancasila tidak mampu menjadi alat atau cara menelaah
sebuah Pancasila. Kendala pertama dapat diatasi dengan cara membuka lebar-lebar
pintu etika politik Pancasila terhadap kritik dan koreksi dari manapun,
sehingga ia tidak terjebak pada lingkaran itu. Kendala kedua dapat diatasi
dengan menunjukkan kritik kepada tingkatan praksis Pancasila terlebih dahulu,
kemudian secara bertahap merunut kepada pemahaman yang lebih umum hingga
ontologi Pancasila menggunakan prinsip-prinsip norma moral.
Penerapan Etika Politik di Indonesia
Ada dasar yang fundamental dalam memfungsikan sistem
politik yang memadai.
Beberapa saran penerapan etika politik di
Indonesia, adalah sebagai berikut.
Pertama,
membuat masyarakat menjadi kritis.
Franklyn Haiman (1958) mensyaratkan adanya peningkatan
kapasitas rasional manusia.
Upaya persuasi seperti kampanye politik, komunikasi
pemerintah,
periklanan, dan lain-lain, adalah suatu teknik untuk
memengaruhi penerima
dengan menghilangkan proses berfikir sadarnya
dan menanamkan sugesti atau penekanan pada
kesadaran,
agar menghasilkan perilaku otomatis yang tidak
reflektif.
Seruan motivasional dan emosional juga kerap digunakan
dalam mempengaruhi rasional massa.
Pemilihan kata, kerap tidak mempertimbangkan rasa
keadilan.
Habermas (1967) mengatakan bahwa bahasa juga merupakan
sarana dominasi dan kekuasaan.
Monopoli pada pilihan kata, terutama karena akses
ruang publik lebih terbuka pada politisi,
menimbulkan peluang penyimpangan kepentingan.
Upaya penggerakan logika instant ini tidak etis.
Intinya, seorang politisi yang berusaha diterima
pandangannya secara tidak kritis,
dia juga dapat dipandang sebagai pelanggar etika
politik yang ideal.
Jadi manusia harus diajar berfikir, menganalisa dan
mengevaluasi informasi dengan rasio dan mampu mengontrol emosinya.
Dengan demikian dapat menghasilkan suatu pemikiran
terbaik dengan analisa kritis.
Kedua,
mengembangkan kebiasaan meneliti.
Semua pihak: masyarakat (melalui LSM), media massa,
perguruan tinggi, politisi atau penguasa,
sebaiknya mengembangkan kebiasaan meneliti.
Peningkatan rasionalitas pada masyarakat selayaknya
dibarengi
dengan kemauan politisi dalam bersikap adil ketika
memilih
dan menampilkan fakta dan data secara terbuka.
Pengetahuan tentang realitas sebaiknya mencerminkan
kenyataan real yang dibutuhkan.
Informasi yang ditampilkan adalah informasi yang
paling relevan
dan selengkap mungkin memfasilitasi kemampuan rasional
publik.
Dan data yang dibutuhkan masyarakat, tidak boleh
diselewengkan atau disembunyikan.
Ketika banyak pihak terbiasa meneliti dan terekspos
oleh data,
penyelewengan data akan berkurang.
Keterbukaan akses informasi ini, memfasilitasi
masyarakat, mengamati politisi dalam membuat keputusan yang akurat.
Bagi politisi sendiri,
ada baiknya mempertimbangkan peringatan Wallace untuk
menanyakan hal ini pada diri sendiri,
Ketiga,
kepentingan umum daripada pribadi
atau golongan.
Politisi hendaknya mengembangkan kepentingan umum
daripada kepentingan pribadi atau golongan.
Pertanyaan yang dapat diangkat adalah:
”Apakah saya melupakan amanah yang telah diberikan
oleh khalayak pada saya?”
Ajakan suci ini memang membutuhkan gerakan hati dari
politisi.
Dan hati adalah ranah personal dari seorang
individu.
Namun, masyarakat memiliki hak sebagai
eksekutor.
Ada atau tidak adanya politisi tersebut duduk di
singasana politik.
Meski butuh waktu lima tahunan.
Keempat,
menghormati perbedaan
Etika politik juga dapat dilaksanakan dengan
menghormati perbedaan pendapat dan argumen.
Meski diperlukan adanya kerjasama dan kompromi,
nilai dasar hati nurani, perlu menjadi batasan
pembuatan kebijakan.
Menurut Wallace,
”Kita tidak perlu mengorbankan prinsip demi
kompromi.
Kita harus lebih suka menghadapi konflik daripada
menerima penentraman”
Karena secara budaya, Indonesia adalah negara
kolektifis yang kerap mementingkan harmonisasi.
Bagi masyarakat,
keaktifan dalam berekspresi dan mengungkapkan
pendapat
sebaiknya disambut dengan lebih aktif memanfaatkan
ruang publik yang tersedia.
Bagi politisi, ada baiknya memperhatikan pertanyaan
Wallace ini:
”Bisakah saya dengan bebas mengakui kekuatan dan
bukti
serta argumen yang bertentangan dan masih mengajukan
sebuah pendapat
yang menampilkan keyakinan saya?”
Kelima,
penerapan hukum.
Penerapan etika
politik sebaiknya didasari hukum.
Masyarakat
terdiri dari kelompok-kelompok yang mungkin sekali mempunyai kepentingan
berlawanan.
Politisi,
dibantu oleh pengawasan masyarakat,
sebaiknya mampu
memfasilitasi dan mengatur kepentingan-kepentingan kelompok
dengan
membangun institusi-institusi yang adil.
Pengeksklusifan
pada suatu kelompok dapat membuahkan keberuntungan
bagi yang satu
dan kemalangan bagi yang lain.
Pengelolaan
hukum dengan prosedur yang baik,
dapat
mengontrol dan menghindarkan semaksimal mungkin penyalahgunaan.
Keadilan tidak
diserahkan kepada politisi,
tapi
dipercayakan kepada prosedur yang memungkinkan pembentukan sistem hukum
yang menjamin
pelaksanaan keadilan.
Jadi ketika
politisi melakukan pelanggaran, prosedur hukum secara otomatis dan
transparan,
dapat
diberlakukan pada politisi, tanpa adanya rekayasa
Keenam,
mengurangi
privasi.
Salah satu
upaya pelaksanaan etika politik,
menurut Dennis
F Thompson (1987), adalah dengan mengurangi privasi pejabat negara.
Menurutnya,
para pejabat sesungguhnya bukan warga negara biasa.
Mereka memiliki
kekuasaan atas warga negara,
dan
bagaimanapun, mereka merupakan representasi dari warga negara.
Perbedaan-perbedaan
signifikan antara pejabat negara dan warga negara
membuat
berkurangnya wilayah kehidupan pribadi (privacy) para pejabat
negara.
Karenanya,
privacy pejabat negara tidak harus dijaga,
bila perlu
dikorbankan untuk menjaga keutuhan demokrasi dan menjaga kepercayaan warga
negara.
Kebijakan-kebijakan
politik yang diambil, sebesar dan atau seluas apa pun, sedikit banyak,
berpengaruh bagi kehidupan warga negara.
Jadi layaklah
bila masyarakat tahu secara detail, mengenai kehidupan pejabat-pejabat
negara.
Pengetahuan
tersebut merupakan bagian dari garansi dan kontrol publik
yang membuat
warga negara menaruh kepercayaan pada pejabat negara yang telah
dipilihnya.
Warga negara
harus punya keyakinan bahwa pejabat negara yang dipilihnya
benar-benar
memiliki fisik yang sehat dan pribadi yang jujur.
Meski orang
mungkin berubah,
namun perlu ada
jaminan awal bahwa politisi tersebut berpotensi
untuk tidak
mempergunakan kekuasaan dan kewenangan
untuk
kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompoknya.
Ketujuh,
beriman.
Penerapan etika
politik dapat berjalan dengan mulus,
bila semua
pihak menyandarkan keyakinan pada agama.
Sila Ketuhanan
Yang Maha Esa, hendaklah menjadi jiwa dalam kehidupan tiap individu.
Etika dan moral
politisi akan rusak ketika tidak dihubungkannya agama dengan politik.
Padahal,
keduanya adalah satu kesatuan integral bagai jiwa dan raga.
Iman, adalah
percaya pada Tuhan.
Bila politisi
mempercayakan diri pada Tuhan sebagai pemilik dirinya,
tempat
kembalinya, pengatur manusia, pemberi amanah,
penguasa
keputusan hidup dan tempat berawal dan berakhirnya segala sesuatu,
Kedelapan,
terbukanya
ruang publik.
Perlu
diperbanyak ruang publik yang memberi kesempatan politisi dan masyarakat
saling
berkomunikasi.
Wadah seperti
the Fatwa Center (tFC) ini,
adalah salah
satu upaya real menyediakan akses bagi interaksi tadi.
Terbukanya
kesempatan berbagi antartokoh, politisi, media, akademisi, birokrat,
mahasiswa dan
masyarakat lainnya memberi penyegaran-penyegaran edukatif pada semua
pihak.
Selain itu
mengurangi prasangka atau peluang terjadinya pelanggaran etika politik.
Wadah seperti
The Fatwa Center juga diharapkan:
1) dapat
memberi ruang terbuka pada peningkatan rasional dan daya kritis publik.
2)
mempersiapkan calon politisi untuk menjadi politisi beretika,
3) mengingatkan
politisi untuk beretika.
Semua pihak
akan diuntungkan.
Politisi yang
beretika, diuntungkan dengan adanya masyarakat yang terdidik.
Masyarakat juga
diuntungkan, dengan politisi yang beretika.
Pada masyarakat
yang tidak terpelajar, maka politisi yang tidak beretika masih tetap ada.
Ongkos sosial
juga tinggi,
diantaranya:
banyaknya intrik,
masyarakat
dikorbankan, kemajuan Indonesia juga tidak signifikan.
ANALISIS KEBIJAKAN KENAIKAN BBM (Kontra)
kontra terhadap kenaikan BBM mulai dari
anggota DPR, DPRD, kalangan mahasiswa dari berbagai universitas, petani,
nelayan, angkutan umum dan masih banyak lagi mereka semua menolak kenaikan
harga BBM. Diantara yang pro dan kontra terhadap kebijakan kenaikan harga BBM
tersebut terdapat kelompok yang abstain. Mereka ini tidak ikut demo, pasrah,
harga BBM tidak naik syukur, kalau BBM naik monggo kerso. Mereka juga
sebenarnya berharap harga BBM tetap, karena dengan kenaikan BBM akan
mengakibatkan tambahan pengeluaran mereka sehari-hari, tetapi tetap menerima.
Sudah jelas pemerintah dengan
perangkatnya beserta jajarannya akan mendukung kenaikan harga BBM bersubsidi
karena gaji mereka dibayar dari APBN dan mereka pula yang menerbitkan kebijakan
kenaikan harga BBM bersubsidi untuk menyelamatkan APBN. Selama APBN aman, gaji
mereka tetap aman. Namun bukan alasan itu yang menjadi dasar kebijakan kenaikan
harga BBM. Kebijakan itu dikeluarkan setelah melalui kajian dan berbagai
pertimbangan yang masak serta dengan memperhitungkan dampak positif dan
negatifnya yang memang pada akhirnya kenaikan harga BBM lah yang dianggap
paling tepat untuk dilakukan. Tujuannya bukan hanya untuk menyelamatkan APBN,
tapi juga untuk menyelamatkan penyelenggaraan kegiatan negara lainnya seperti
pelayanan kesehatan, pendidikan, sosial, ekonomi dan lainnya. Bahkan Kadin ikut
menganjurkan agar pemerintah menaikkan harga BBM untuk memberikan kepastian
bagi dunia usaha. Dari kalangan masyarakat yang setuju dengan kenaikan BBM
antara lain diperoleh pendapat bahwa harga BBM wajar naik karena harga minyak
mentah yang merupakan bahan pokoknya juga meningkat. Pendapat lain mengatakan
harga BBM perlu naik agar masyarakat berhemat dan efisien dalam menggunakan
BBM. Sementara seorang PNS mengatakan bahwa ia setuju harga BBM naik, karena
mengurangi subsidi untuk BBM yang akan terbuang percuma, lebih baik dana
subsidi digunakan untuk kesehatan atau pendidikan. Pendapat yang lebih ekstreem
berpendapat bahwa sebaiknya subsidi sebaiknya dihapus, dananya dialihkan untuk
BLT dan harga BBM disesuaikan dengan harga pasar.
Dari kalangan yang kontra atau tidak
setuju terhadap kenaikan harga BBM, diantaranya adalah sebagian anggota DPR.
Ada yang mengatakan bahwa kebijakan kenaikan harga BBM kurang tepat untuk saat
ini, karena akan menambah beban rakyat yang sedang menghadapi berbagai tekanan
ekonomi seperti kenaikan harga pangan. Beberapa alasan yang dikemukakan dari
kalangan ibu rumah tangga, petani, mahasiswa, elite politik, LSM maupun
kalangan masyarakat lainnya yang tidak setuju terhadap adanya kenaikan harga
BBM bersubsidi antara lain :
- akan
mengakibatkan efek berantai terhadap harga kebutuhan pokok rakyat,
- pemerintah
terlalu terburu-buru menerbitkan kebijakan,
- pemerintah
malas dan hanya mencari jalan pintas,
- akan
mengakibatkan semakin meluasnya masalah kemiskinan,
- dapat
memicu konflik sosial dalam masyarakat,
- memperparah
masalah pengangguran,
- akan
memicu kenaikan harga barang lainnya, biaya transportasi dan inflasi
Kelompok masyarakat yang netral atau abstain
terhadap kenaikan harga BBM punya alasan tersendiri. Mereka lebih banyak diam
menunggu perkembangan dan tampaknya lebih mencari aman. Kelompok ini sebagian
besar berasal dari warga kelas menengah dan warga keturunan serta sebagian
masyarakat terpelajar baik kelas atas, menengah maupun bawah yang nrimo apapun
kebijakan yang diambil pemerintah selama hak mereka tidak berkurang. Seorang
PNS mengatakan bahwa kalau harga BBM naik kasihan para tukang ojek harus
menambah biaya, namun kalau tidak naik APBN kita payah, jadi terserah
pemerintah saja, katanya. Beberapa alasan lain yang dapat diperoleh dari
kelompok yang abstain ini antara lain :
- ibarat
buah simalakama,
- percuma
ikut demo penolakan kenaikan BBM, toh akhirnya naik juga,
- serahkan
kepada pemerintah, pemerintah yg lebih mengetahui situasinya,
- lebih
senang kalau harga BBM tidak naik, tapi kalau pemerintah maunya naik mau
bilang apa
DAFTAR PUSTAKA
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/Pancasila%20dan%20UUD%201945.pdf
Mainur Pasaribu., Filsafat dan Pendidikan Pancasila . Jakarta,
Yatama Printing, 2012.
Bagus Lorens, Kamus Filsafat . Jakarta, Gramedia,
1996.
Kaelan. 2008. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta
Notonegoro. 1985. Beberapa hal Mengenai Filsafat
Pancasila. Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar