NPM : 37412336
Kelas : 3ID04
Tugaske-6 Kewarganegaraan
UNIVERSITAS GUNADARMA
PEMBAHASAN
Pancasila Dalam Etika Politik
1. Pengertian sebagai etika sebagai salah satu cabang
filsafat praktis
Sebagai
suatu usaha ilmiah, filsafat dibagi menjadi beberapa cabang menurut lingkungan
bahasanya masing-masing. Cabang-cabang itu dibagi menjadi dua kelompok bahasan
pokok yaitu filsafat teoritis danfilsafat praktis. Kelompok bahasan pokok yaitu
filsafat teoritis mempertanyakan dan bberusaha mencari jawabanya tentang segala
sesuatu, misalnya hakikat manusia, alam, hakikat realitas sebagai suatu keseluruhan,
tentang pengetahuan tentang apa yang kita ketahui dan sebagainya. Dalam hal ini
filsafat teoritispun juga mempunyai maksud-maksud dan berkaitan erat dengan
hal-hal yang bersifat peraktis, karena pemahaman yang dicari menggerakan
kehidupannya.
Etika
termasuk kelompok filsafat peraktis dan dibagi menjadi dua kelompok yaitu etika
umum dan etika khusus. Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang
ajaran-ajaran dan pandanga-pandangan moral. Etika umum dan etika
memopertanyakan perinsip-prinsip yang berlaku bagi tindakan setiap manusia,
sedangkan etika khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungannya dengan
bebagai aspek kehidupan manusia. Etika khusus dibagi menjadi etika individual
yang membahas kewajiban manusia terhadap manusia lain dalam kehidupan
masyarakat.
Etika
berkaitan dengan berbagai masalah nilai karena etika pada pokoknya membicarakan
masalah-masalah yang berkaitan dengan predikat nilaisusila dan tidak susila,
baik dan buruk. Sebagai bahasan khusus etika membicrarakan sifat-sifat yang
menyebabkan orang dapat disebut susila atau bijak. Kualitas-kualitas ini
dinamakan kebijakan yang dilawankan dengan kejahatan yang berarti sifat-sifat
yang menunjukan bahwa orang yang memilikinya dikatakan orang yang tidak susila.
Sebenarnya etika lebih banyak bersangkutan dengan prinsip-prinsip dasar
pembenaran dalam hubungan dengan tingkah laku manusia. Dpat juga dikatakan
bahwa etika berkaitan dengan dasar-dasar fiosofis dalam hubungan dengan tingkah
laku manusia.
2.
Nilai Dasar, Nilai Instrumental dan Nilai Praktis
Dalam
kaitannya dengan derivasi atau penjabaran maka nilai-nilai dapat dikelompokan
menjadi tiga macam yaitu nilaindasar, nilai instrumental dan nilai peraktis
a.
Nilai Dasar
Walaupun
nilai memiliki sifat abstrak artinya tidak dapat diamati melalui indra manusia,
namun dalam realisasinya niali berkaitan dengan tingkah laku atau segala aspek
kehidupan manusia yang bersifat nyata namun demikian setiap nilai memiliki
nilai dasar yaitu merupakn hakikat, esensi, intisari atau makna yang terdalam
dari nilai-nilai tersebut.
b.
Nilai Instrumental
Untuk
dapat direalisasikan dalam suatu kehidupan peraktis maka nilai dasar tersebut
diatas harus memiliki formulasi serta parameter atau ukuran yang jelas. Nilai
instrumental inilah yang merupakan suatu pendoman yang dapat diukur dan dapat
diarahkan. Bilamana nilai instrumental tersebut berkaitan dengan tingkahlaku
manusia dalam kehidupan sehari-hari maka hal itu akan merupakan suatu norma
moral. Namun jika kalau nilai instrumental itu berkaitan dengan suatu
organisasi ataupun negara maka nilai-nilai instrumental itu merupakan suatu
arahan, kebikajaksanaan atau strategi yang bersumber pada nilai dasar. Sehingga dapat juga dikatakan bahwa
nilai instrumental itu merupakan suatu eksplisitasi dari nilai dasar.
c.
Nilai Praktis
Nilai
peraktis pada hakikatnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai
instrumental dalam suatu kehidupan yang nyata. Sehingga nilai peraktis ini
merupakan perwujudan dari nilai instrumental itu. Dapat juga dimungkinkan
berbeda-beda wujudnya namun demikian tidak bisa menyimpang atau bahkan tidak
dapat bertentangan. Artinya oleh karena nilai dasar, nilai instrumental dan
nilai peraktis itu merupakan suatu sstem perwujudan tidak boleh menyimpang dari sistem tersebut.
3.
Etika Politik
Etika politik merupakan sebuah cabang dalam ilmu etika yang membahas
hakikat manusia sebagai makhluk yang berpolitik dan dasar-dasar norma yang
dipakai dalam kegiatan politik. Etika politik sangat penting karena
mempertanyakan hakikat manusia sebagai makhluk sosial dan mempertanyakan atas
dasar apa sebuah norma digunakan untuk mengontrol perilaku politik. Etika
politik menelusuri batas-batas ilmu politik, kajian ideologi, asas-asas dalam
ilmu hukum, peraturan-peraturan ketatanegaraan, asumsi-asumsi, dan
postulat-postulat tentang masyarakat dan kondisi psikologis manusia sampai ke
titik terdalam dari manusia melalui pengamatan terhadap perilaku, sikap,
keputusan, aksi, dan kebijakan politik. Etika politik tidak menerima begitu
saja sebuah norma yang melegitimasi kebijakan-kebijakan yang melanggar konsep
nilai intersubjektif (dan sekaligus nilai objektif juga) hasil kesepakatan
awal. Jadi, tugas utama etika politik sebagai metode kritis adalah memeriksa
legitimasi ideologi yang dipakai oleh kekuasaan dalam menjalankan wewenangnya.
Namun demikian, bukan berarti bahwa etika politik hanya dapat digunakan sebagai
alat kritik. Etika politik harus pula dikritisi. Oleh karena itu, etika politik
harus terbuka terhadap kritik dan ilmu-ilmu terapan.
Etika politik bukanlah sebuah norma. Etika politik juga bukan sebuah aliran
filsafat atau ideologi, sehingga tidak dapat dijadikan sebuah pedoman siap
pakai dalam pengambilan kebijakan atau tindakan politis. Etika politik tidak
dapat mengontrol seorang politikus dalam bertindak atau mengambil keputusan,
baik keputusan individu, organisasi, atau kelompok. Namun, etika politik dapat
dijadikan rambu-rambu yang membantu politikus dalam mengambil keputusan.
Fungsi etika politik dalam masyarakat terbatas pada penyediaan alat-alat
teoritis untuk mempertanyakan serta menjelaskan legitimasi politik secara
bertanggung jawab. Jadi, tidak berdasarkan emosi, prasangka dan apriori,
melainkan secara rasional objektif dan argumentative. Etika politik tidak
langsung mencampuri politik praktis. Tugas etika politik membantu agar pembahasan masalah-masalah ideologis dapat dijalankan secara
objektif.
Hukum dan kekuasaan Negara merupakan pembahasan utama etika politik. Hukum
sebagai lembaga penata masyarakat yang normatif, kekuasaan Negara sebagai
lembaga penata masyarakat yang efektif sesuai dengan struktur ganda kemampuan
manusia (makhluk individu dan sosial). Pokok permasalahan etika politik adalah
legitimasi etis kekuasaan. Sehingga penguasa memiliki kekuasaan dan masyarakat
berhak untuk menuntut pertanggung jawaban. Legitimasi etis mempersoalkan
keabsahan kekuasaan politik dari segi norma-norma moral. Legitimasi ini muncul
dalam konteks bahwa setiap tindakan Negara baik legislatif maupun eksekutif
dapat dipertanyakan dari segi norma-norma moral. Moralitas kekuasaan lebih
banyak ditentukan oleh nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh
masyarakat.
4.
Pengertian
Nilai, Norma dan Moral
Berbicara mengenai etika politik kita juga perlu mengetahui tentang apa
yang disebut dengan nilai, norma dan moral.
Pengertian Nilai
nilai adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk
memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat
seseorang atau kelompok, (the believed capacity of any object to statistfy a
human desire). Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat atau kualitas
yang melekat pada suatu objek itu sendiri. Nilai itu sebenarnya adalah suatu
kenyataan yang “tersembunyi” di balik kenyataan-kenyataan lainnya. Ada nilai
itu karena adanya kenyataan-kenyataan lain sebagai pembawa nilai (wartrager).
Menilai berarti menimbang untuk selanjutnya mengambil keputusan. Keputusan
nilai yang diambil berhubungan dengan subjek penilai itu sendiri dimana dalam
hal ini adalah manusia yang meliputi unsur-unsur jasmani, akal, rasa, karsa
(kehendak) dan kepercayaan. Sesuatu dikatakan bernilai apabila
sesuatu itu berharga, berguna, benar, indah, baik dan lain
sebagainya. Di dalam nilai itu sendiri terkandung cita-cita, harapan-harapan,
dambaan-dambaan dan keharusan. Maka apabila kita berbicara tentang nilai,
sebenarnya kita berbicara tentang hal yang ideal, tentang hal yang merupakan
cita-cita, harapan, dambaan dan keharusan. Berbicara tentang nilai berarti kita
masuk bidang makna normatif, bukan kognitif, kita masuk ke dunia ideal dan
bukan dunia real. Meskipun demikian, diantara keduannya saling berkait secara
erat, artinya yang ideal harus menjadi real, yang normatif harus direalisasikan
dalam perbuatan sehari-hari yang merupakan fakta.
Max Sceler mengelompokkan nilai ke dalam empat tingkatan berdasarkan tinggi
rendahnya, yakni :
a. Nilai-nilai kenikmatan : dalam
tingakatan ini terdapat deretan nilai-nilai yang mengenakkan dan tidak
mengenakkan (die Wertreihe des Angenehmen und Unangehmen).
b. Nilai-nilai kehidupan : dalam
tingakatan ini terdapat nilai-nilai yang penting bagi kehidupan (Werte des
vitalen Fuhlens).
c. Nilai-nilai kejiwaan : dalam
tingkatan ini terdapat nilai-nilai kejiwaan (geistige werte) yang sama
sekali tidak tergantung dari keadaan jasmani maupun lingkungan.
d. Nilai-nilai kerohanian : dalam
tingakatan ini terdapat modalitas nilai dari yang suci dan tidak suci (wermodalitat
des Heiligen ung Unheiligen).
Sedangkan menurut ahli yang lain yakni Notonagoro membagi nilai menjadi
tiga macam, yaitu :
a. Nilai material, yaitu segala
sesuatu yang berguna bagi kehidupan jasmani manusia atau kebutuhan material
ragawi manusia.
b. Nilai vital, yaitu segala sesuatu
yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas.
c. Nilai kerokhanian, yaitu segala
sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Nilai kerohanian ini dapat dibedakan
atas empat macam :
1) Nilai kebenaran, yang bersumber pada
akal manusia (ratio, budi, cipta).
2) Nilai keindahan (estetis), yang
bersumber pada unsur perasaan manusia (esthetis, gevoel, rasa).
3) Nilai kebaikan (moral), yang
bersumber pada unsur kehendak manusia (will, wollen, karsa).
4) Nilai religius, yang merupakan nilai
kerokhanian teringgi dan mutlak. Nilai religius ini bersumber kepada
kepercayaan atau keyakinan manusia.
Dalam kaitannya dengan derivasi atau penjabarannya maka nilai-nilai dapat
dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu nilai dasar, nilai instrumental dan
nilai praksis.
a. Nilai Dasar
Nilai memiliki sifat yang abstrak yang tidak dapat diamati indra manusia
namun realisasinya bersifat nyata (real). Setiap nilai memiliki nilai
dasar (onotologis) yang merupakan hakikat, esensi, intisari atau makna
yang terdalam dari nilai-nilai tersebut dimana sifatnya adalah universal karena
menyangkut hakikat kenyataan objektif segala sesuatu. Nilai dasar dapat juga
disebut sebagai sumber norma yang pada gilirannya dijabarkan atau direalisasikan
dalam suatu kehidupan yang bersifat praksis. Konsekuensinya walaupun
dalam aspek praksis dapat berbeda-beda namun secara sistematis tidak dapat
bertentangan dengan nilai dasar yang merupakan sumber penjabaran norma serta
realisasi praksis tersebut.
b. Nilai Instrumental
Untuk dapat direalisasikan dalam suatu kehidupan praksis maka nilai dasar
tersebut harus memiliki formulasi serta parameter atau ukuran yang jelas. Nilai
instrumental inilah yang merupakan suatu pedoman yang dapat diukur dan dapat
diarahkan. Nilai instrumental yang berkaitan dengan tingkah laku manusia
merupakan suatu norma moral. Sedangkan yang berkaitan dengan organisasi maupun
negara merupakan suatu arahan, kebijaksanaan atau strategi yang bersumber pada
nilai dasar. Dengan kata lain nilai instrumental merupakan suatu
eksplisitasi dari nilai dasar.
c. Nilai Praksis
Nilai praksis pada hakikatnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai
instrumental dalam suatu kehidupan yang nyata. Sehingga nilai praksis ini merupakan
perwujudan dari nilai instrumental itu sendiri. Dapat juga dimungkinkan
berbeda-beda wujudnya, namun demikian tidak bisa menyimpang atau bahkan tidak
dapat bertentangan. Artinya oleh karena nilai dasar, nilai instrumental dan
nilai praksis itu merupakan suatu sistem perwujudannya tidak boleh menyimpang
dari sitem tersebut.
Pengertian Norma
Norma adalah struktur nilai yang menjadi pedoman penilaian tingkah laku
manusia yang harus dijalankan dalam kehidupan sehari-hari yang didasarkan atas
suatu motivasi tertentu. Nilai yang menjadi milik bersama didalam satu
masyarakat dan telah tertanam dengan emosi yang mendalam akan menjadi norma
yang disepakati bersama. Nilai-nilai yang telah dibakukan menjadi norma itulah
yang kelak menjadi acuan penilaian. Pada hakikatnya, norma merupakan perwujudan
dari koeksistensi manusia sebagai makhluk sosial. Norma sendiri dibedakan
menjadi empat, yaitu norma agama, norma moral, norma sosial, dan norma hukum.
Pengertian Moral
Moral berasal dari kata Latin “Mos” yang jamaknya Mores yang
berarti adat atau cara hidup. Etika dan moral hampir sama artinya, tetapi dalam
pemakaian sehari-hari terdapat sedikit perbedaan. Moral atau moralitas dipakai
untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian
sistem nilai-nilai yang ada. Secara umum moral merupakan suatu ajaran ataupun
wejangan, patokan, kumpulan peraturan baik lisan maupun tertulis tentang
bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik.
Hubungan Nilai, Norma dan Moral
Nilai merupakan kualitas dari suatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia,
baik lahir maupun batin. Dalam kehidupan manusia nilai dijadikan landasan,
alasan ataupun motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku baik disadari
ataupun tidak. Nilai tidak bersifat konkrit yang dapat ditangkap indra manusia
melainkan bersifat abstrak yang hanya dapat dipahami, dipikirkan, dimengerti
dan dipahami oleh manusia.
Agar nilai menjadi menjadi lebih berguna dalam menuntun sikap dan tingkah
laku manusia maka perlu dikonkritkan serta diformulasikan menjadi lebih
objektif sehingga memudahkan menjabarkannya dalam tingkah laku secara konkrit.
Wujud lebih konkrit dari nilai inilah yang disebut norma. Terdapat berbagai
macam norma dimana norma hukumlah yang paling kuat karena dapat dipaksakan oleh
suatu kekuasaan.
Selanjutnya nilai dan norma senantiasa berkaitan dengan moral dan etika.
Istilah moral mengandung integritas dan martabat pribadi manusia. Derajat
kepribadian seseorang amat ditentukan oleh moralitas yang dimilikinya. Makna
moral yang terkandung dalam kepribadian seseorang itu tercermin dari sikap dan
tingkah lakunya. Dalam pengertian inilah maka kita memasuki wilayah norma
sebagai penuntun sikap dan tingkah laku manusia. Demikianlah hubungan yang
sistematik antar nilai, norma, dan moral yang pada gilirannnya krtiga aspek
tersebut terujud dalam suatu tingkah laku praksis dalam kehidupan manusia.
5.
Peran
Pancasila sebagai Sumber Etika Politik di Indonesia
Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa dan Negara yang merupakan satu
kesatuan nilai yang tidak dapat dipisah-pisahkan dengan masing-masing
sila-silanya. Karena jika dilihat satu persatu dari masing-masing sila itu
dapat saja ditemukan dalam kehidupan berbangsa yang lainnya. Namun, makna
Pancasila terletak pada nilai-nilai dari masing-masing sila sebagai satu
kesatuan yang tak bias ditukar-balikan letak dan susunannya. Pancasila tidak
hanya merupakan sumber derivasi peraturan perundang-undangan, melainkan juga
merupakan sumber moralitas terutama dalam hubungannya dengan legitimasi
kekuasaan, hukum, serta kebijakan dalam penyelenggaraan negara. Untuk memahami
dan mendalami nilai nilai Pancasila dalam etika berpolitik itu semua terkandung
dalam kelima sila Pancasila.
Ketuhanan Yang Maha Esa
Sila pertama merupakan sumber nilai-nilai moral bagi kehidupan kebangsaan
dan kenegaraan. Berdasarkan sila pertama Negara Indonesia bukanlah negarateokrasi yang
mendasarkan kekuasaan negara pada legitimasi religius. Kekuasaan kepala negara
tidak bersifat mutlak berdasarkan legitimasi religius melainkan berdasarkan
legitimasi hukum dan demokrasi. Walaupun Negara Indonesia tidak
mendasarkan pada legitimasi religius, namun secara moralitas kehidupan negara
harus sesuai dengan nilai-nilai yang berasal dari Tuhan terutama hukum serta
moral dalam kehidupan negara. Oleh karena itu asas sila pertama lebih berkaitan
dengan legitimasi moral.
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Sila kedua juga merupakan sumber nilai-nilai moralitas dalam kehidupan
negara. Bangsa Indonesia sebagai bagian dari umat manusia di dunia hidup secara
bersama dalam suatu wilayah tertentu, dengan suatu cita-cita serta prinsip
hidup demi kesejahteraan bersama. Manusia merupakan dasar kehidupan dan
penyelenggaran negara. Oleh karena itu asas-asas kemanusiaan adalah bersifat
mutlak dalam kehidupan negara dan hukum. Dalam kehidupan negara kemanusiaan
harus mendapatkan jaminan hukum, maka hal inilah yang diistilahkan dengan
jaminan atas hak-hak dasar (asasi) manusia. Selain itu asas kemanusiaan
juga harus merupakan prinsip dasar moralitas dalam penyelenggaraan negara.
Persatuan Indonesia
Persatuan berati utuh dan tidak terpecah-pecah. Persatuan mengandung
pengertian bersatunya bermacam-macam corak yang beraneka ragam menjadi satu
kebulatan. Sila ketiga ini mencakup persatuan dalam arti ideologis, politik,
ekonomi, sosial budaya, dan hankam. Indonesia sebagai negara plural yang
memiliki beraneka ragam corak tidak terbantahkan lagi merupakan negara yang
rawan konflik. Oleh karenanya diperlukan semangat persatuan sehingga tidak
muncul jurang pemisah antara satu golongan dengan golongan yang lain.
Dibutuhkan sikap saling menghargai dan menjunjung semangat persatuan demi
keuthan negara dan kebaikan besama. Oleh karena itu sila ketiga ini juga
berkaitan dengan legitimasi moral.
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/ Perwakilan
Negara adalah berasal dari rakyat dan segala kebijaksanaan dan kekuasaan
yang dilakukan senantiasa untuk rakyat. Oleh karena itu rakyat merupakan asal
muasal kekuasaan negara. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara segala
kebijaksanaan, kekuasaan serta kewenangan harus dikembalikan kepada rakyat
sebagai pendukung pokok negara. Maka dalam pelaksanaan politik praktis, hal-hal
yang menyangkut kekuasaan legislatif, eksekutif serta yudikatif, konsep
pengambilan keputusan, pengawasan serta partisipasi harus berdasarkan
legitimasi dari rakyat, atau dengan kata lain harus memiliki “legitimasi
demokratis”.
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Dalam penyelenggaraan negara harus berdasarkan legitimasi hukum yaitu
prinsip “legalitas”. Negara Indonesia adalah negara hukum, oleh karena
itu keadilan dalam hidup bersama (keadilan sosial) merupakan tujuan dalam
kehidupan negara. Dalam penyelenggaraan negara, segala kebijakan, kekuasaan,
kewenangan serta pembagian senatiasa harus berdasarkan hukum yang berlaku.
Pelanggaran atas prinsip-prinsip keadilan dalam kehidupan kenegaraan akan
menimbulkan ketidakseimbangan dalam kehidupan negara.
Pola pikir untuk membangun kehidupan berpolitik yang murni dan jernih
mutlak dilakukan sesuai dengan kelima sila yang telah dijabarkan diatas. Yang
mana dalam berpolitik harus bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh
Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyarawatan/Perwakilan dan dengan penuh Keadilan
Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia tanpa pandang bulu. Etika politik
Pancasila dapat digunakan sebagai alat untuk menelaah perilaku politik Negara,
terutama sebagai metode kritis untuk memutuskan benar atau slaah sebuah
kebijakan dan tindakan pemerintah dengan cara menelaah kesesuaian dan tindakan
pemerintah itu dengan makna sila-sila Pancasila.
Etika politik harus direalisasikan oleh setiap individu yang ikut terlibat
secara konkrit dalam pelaksanaan pemerintahan negara. Para pejabat eksekutif,
legislatif, yudikatif, para pelaksana dan penegak hukum harus menyadari
bahwa legitimasi hukum dan legitimasi demokratis juga harus berdasarkan pada
legitimasi moral. Nilai-nilai Pancasila mutlak harus dimiliki oleh setiap
penguasa yang berkuasa mengatur pemerintahan, agar tidak menyebabkan berbagai
penyimpangan seperti yang sering terjadi dewasa ini. Seperti tindak pidana
korupsi, kolusi dan nepotisme, penyuapan, pembunuhan, terorisme, dan
penyalahgunaan narkotika sampai perselingkuhan dikalangan elit politik yang
menjadi momok masyarakat.
Dalam penerapan etika politik Pancasila di Indonesia tentunya mempunyai
beberapa kendala-kendala, yaitu :
a. Etika politik terjebak menjadi
sebuah ideologi sendiri. Ketika seseorang mengkritik sebuah ideologi, ia pasti
akan mencari kelemahan-kelemahan dan kekurangannya, baik secara konseptual
maupun praksis. Hingga muncul sebuah keyakinan bahwa etika politik menjadi
satu-satunya cara yang efektif dan efisien dalam mengkritik ideologi, sehingga
etika politik menjadi sebuah ideologi tersendiri.
b. Pancasila merupakan sebuah sistem
filsafat yang lebih lengkap disbanding etika politik Pancasila, sehingga kritik
apa pun yang ditujukan kepada Pancasila oleh etika politik Pancasila tidak
mungkin berangkat dari Pancasila sendiri karena kritik itu tidak akan
membuahkan apa-apa.
Namun demikian, bukan berarti etika politik Pancasila tidak mampu menjadi
alat atau cara menelaah sebuah Pancasila. Kendala pertama dapat diatasi dengan
cara membuka lebar-lebar pintu etika politik Pancasila terhadap kritik dan
koreksi dari manapun, sehingga ia tidak terjebak pada lingkaran itu. Kendala
kedua dapat diatasi dengan menunjukkan kritik kepada tingkatan praksis
Pancasila terlebih dahulu, kemudian secara bertahap merunut kepada pemahaman
yang lebih umum hingga ontologi Pancasila menggunakan prinsip-prinsip norma
moral.
DAFTAR PUSTAKA
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/Pancasila%20dan%20UUD%201945.pdf
Mainur Pasaribu., Filsafat dan Pendidikan Pancasila . Jakarta,
Yatama Printing, 2012.
Bagus Lorens, Kamus Filsafat . Jakarta, Gramedia,
1996.
Kaelan. 2008. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta
Notonegoro. 1985. Beberapa hal Mengenai Filsafat
Pancasila. Yogyakarta
Sonoto. 1985. Mengenal Filsafat Pancasila. Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar